Dulur Nyedulur

https://images.app.goo.gl/QFxhY5jQTRBsij8v7

Mencari dulur atau saudara memang mudah, akan tetapi untuk mencari dulur yang nyedulur sangat sulit. Apalagi dulur yang tidak pernah ada hubungan darah, namun hanya berbekal kesamaan frekuensi dan gelombang, Mereka itu yang sebenarnya adalah orang lain,namun mereka menjadi dulur yang Nyedulur.

Saat berteman, masih seringkali kita temui berbagai ungkapan-umpatan, “Lek onok butuhe tok ae moro” Ungkapan-umpatan tersebut bisa diartikan sebagai berikut, “Jika ada perlu, akan menghubungi. Namun, jika tidak ada perlu, seakan-akan tidak saling mengenal” Hal itu terjadi karena konsep kapital milenial sudah tertancap dalam pandangan umum masyarakat di era sekarang, sehingga dapat menimbulkan kurangnya tingkat kepercayaan terhadap sesama manusia.

Hal tersebut berbeda dengan konsep dulur-dulur atau saudara-saudara di Jamaah Maiyah, di mana mereka membuang pikiran-pikiran yang hanya menguntungkan bagi kepentingan dan keperluan pribadi. Entah magnet apa yang ditanam-berikan oleh Mbah Nun kepada para Jamaah yang sebegitu banyak, hingga mereka semua mampu untuk saling menemukan koordinat di titik yang sama, berada dalam satu frekuensi, dan gelombang yang sama.

Hal tersebut terbukti saat sepulang saya dari Padhang Mbulanan, yang dilaksanakan tiap bulan di Jombang. Malam itu, tidak tahu kenapa saya diberi peringatan dengan mesra dari Allah sebagai bukti cinta dan kasihNya kepada saya melalui peristiwa ban bocor; melalui paku, atau batu, atau apalah yang dengan itu bisa melubangi ban sepeda motor saya disaat kebanyakan orang sedang menikmati pengumpulan tenaga-tidur malam-untuk bekerja dikeesokan harinya.

Sebelumnya memang saya bersepakat dengan dulur-dulur Maiyah Gresik—JM Damar Kedhaton—ketika pulang ke Gresik agar bersama-sama, melajukan sepeda motor secara santai, dan beriringan. Saat mereka mengetahui kendala yang saya alami-ban sepeda motor bocor-ditengah perjalanan pulang ke Gresik, mereka sontak mencari tempat parkir yang nyaman guna memberhentikan sepeda motor saya untuk sementara waktu.

Pada waktu dini hari, tentunya sulit bagi diri saya untuk bisa menemukan tukang tambal ban yang masih buka. Karena mungkin sebagian dari mereka—tukang tambal ban—sedang asyik menikmati keindahan momentum waktu dari Allah berupa tidur. Dilain kejadian, dulur-dulur Damar Kedhaton yang ikut dalam iring-iringan pulang, turut berhenti dan membantu mencarikan tukang tambal ban. Tidak hanya itu, ada juga seorang dulur yang menawarkan agar istri dan anak saya ikut satu rombongan dalam mobilnya.

Setelah menemukan tukang tambal ban, dengan bermaksud tidak merepotkan dulur-dulur yang lainnya, saya mempersilakan kepada mereka untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Gresik. Dengan catatan saya sudah merasa aman, saya sudah menemukan tukang tambal ban, dan sudah bisa memastikan sepeda motor yang saya kendarai beserta keluarga berjalan normal kembali. Namun mereka menolaknya. Mereka memberikan keikhlasannya kepada saya, bahwa mereka tetap menunggu dan mau melanjutkan perjalanan pulang dengan iring-iringan seperti kesepakatan di awal. Sembari menunggu proses pengerjaan penambalan ban pada sepeda motor saya, dulur-dulur tampak asyik bercanda di sebuah Musholla yang tidak jauh dari tempat tambal ban. Toh proses dari penambalan ban sepeda motor juga tidak akan sampai memakan waktu yang lama.

Dari hal itu, saya mengerti bahwa inilah bentuk dari dulur yang nyedulur. Mereka benar-benar mengajarkan saya arti dari keikhlasan yang jarang saya jumpai di zaman kapitalis modern, yang sudah tersebar hampir di seluruh penjuru bumi ini. Semoga saya kelak dapat membalas keikhlasan dulur-dulur Maiyah semuanya. Semoga persaudaraan kita bisa kekal sampai kapanpun. Aamiin ya Robbal ‘Alamiin.

 

Tlogo Oblek, 27 Mei 2021

Fajar Sampurno (Cak Pitro)

JM Damar Kedhaton tinggal di Menganti, Gresik