Shohibu baiti… Ya shohibu baiti…
Tuan rumahku… Wahai tuan rumah(ku)
Imamu hayatii… Ya Imamu hayati…
Pemimpin hidupku… Wahai pemimpin hidupku
Mursyidu imanii… Anta syamsu qolbiy…
Penuntun imanku… Engkau (cahaya) mentari hatiku
Qomaru fuadi… Ya qurratu ‘aini…
Rembulan jiwaku… Wahai penyejuk mataku
Syafi’u nashibiy… Ya maula jihadiy…
Penolong (dari) beban(berat)ku… Wahai muara perjuanganku
Ufuqu Syauqi… Ya baabu akhirati…
Cakrawala rinduku… Wahai pintu keabadianku
Kita tidak benar-benar tahu. Apakah lirik di atas termasuk sholawat atau pujian kepada Allah? “Tuan Rumahku”, demikian terjemahan dalam bahasa Indonesianya.
Terlintas dalam benak kepala, muncul dua pertanyaan yang bisa kita jadikan sebagai pintu untuk membedah lebih dalam.
Pertama, kata tuan. Tuan apa? Tuan siapa? Tuan kenapa? Tuan di/ke mana? Tuan yang bagaimana? Kedua, kata Rumah. Rumah apa? Rumah siapa? Kenapa rumah? Rumah di mana? Rumah yang bagaimana? Dan seterusnya.
Ketika kita coba bedah menggunakan pisau akal pikiran; tiap baris secara berurutan, kiranya membentuk sebuah pola tentang perjalanan hidup. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un. Kita; dari tidak ada, diadakan oleh-Nya, dihidupkan oleh-Nya, hidup di dunia atas izin-Nya, dan dipanggil kembali menuju pada-Nya.
Shohibu Baiti seolah mengajak bicara pada Tuan Rumah. Tuan Rumah ini tidak sama dengan aku atau kita sebagai ego. Bukan pula diriku yang sekarang sedang berpikir dan merasa. Meminjam pernyataan yang diutarakan filsuf asal Prancis, “Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada-red),” kata Descartes. Poin juga bisa kita ulas-bedah-maknai, nampaknya ada irisan di dalamnya dengan tema yang diusung.
Bisa jadi, tuan rumah ini seperti entitas. Tersembunyi di dalam palung hati, yang lebih berhak atas jasad, emosi, dan seluruh anasir diri ini. Secara perasaan, timbul rasa kedamaian, ketentraman, dan ketenangan yang meresap; ketika benar-benar berhasil dimakna-renungi.
Tema ini mengajak kita untuk memperbaiki dan membangun rumsh. Tidak hanya struktur fisik, tetapi juga rumah spiritual kita. Maka, Fokus yang diperlukan dan ditekankan, juga bisa mengarah pada ego positif dan diri yang berusaha untuk terus memperbaiki diri.
Tetap berangkat dari spirit Mbah Nun, bahwa bermaiyah adalah menanam, merawat, menyirami dengan kesunguhan total. Mari kita jaga semangat mencari ilmu, merawat dalam kondisi apapun, soal buah itu lain hal dan urusan nanti; berdiskusi – gembira mentadabburi Shohibu Baiti dalam Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-87 di :
Senin, 1 April 2024
Pukul 20.23 WIB
Di Balai Rukyat NU Condrodipo
Ds. Kembangan, Kec. Kebomas, Gresik