Ada satu pertanyaan yang membuat saya kebingungan selalu. Bukan karena gak ada jawaban, bukan juga karena sulit mencari kunci jawaban. Boro-boro sulit nyari kunci jawaban, lha wong sekarang juga sudah ada ChatGPT; tinggal kita minta bantuan dengan menulis apa yang kita inginkan, tak butuh nunggu waktu berjam-jam pun dia sudah bisa menjawabnya. Tapi, jawaban yang ditawarkan ChatGPT pun harus spesifik. Artinya, secanggih apapun ChatGPT, secerdas kayak bagaimana pun ChatGPT, ternyata dia ini pintar menyesuaikan diri; kalau kita minim diksi dan kosakata, ya dia akan menjawab, mengulas, menjelaskan diksi atau kosakata terbatas pada apa yang kita sampaikan kepadanya.
Kembali lagi pada satu pertanyaan yang membuat saya kebingungan selalu. Tulisan ini bagian dari respon saya terhadap tulisan Cak Madrim yang berjudul “Hujan dan Shareloc”. Saya menulis tulisan ini di sebuah warung sederhana langganan saya di kampung. Warkop WG2P namanya. Beralamat di RT 01 RW 03 Dusun Dalean, Desa Guranganyar, Kecamatan Cerme. Banyak cerita, suka-duka, bersama atau sendirian; waktu telah menjadi saksi bisu sejarah.
Tiba-tiba saja terlintas dari dalam benak pikiran kepala saya. Sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan; Majalah-Mbah Nun-Maiyah-Damar Kedhaton. Ada apa dengan Majalah? Ada apa dengan Mbah Nun? Ada apa dengan Maiyah? Ada apa dengan Damar Kedhaton? Dan sederet pertanyaan lainnya yang tidak jauh dari 5W+1H (What, Who, When, Why, Where, How).
Pertanyaan sekaligus pernyataan di atas merupakan respon otomatis yang tiba-tiba muncul dari pikiran, dari ingatan, dari alam bawah sadar saya setelah membaca tulisan Cak Madrim berjudul “Hujan dan Shareloc”. Fokus saya pada satu kalimat pertama yang ditulis oleh Cak Madrim. “Coba mulai berpikir tentang masa depan yang katanya harus dimulai dari masa lalu-masa kini-masa depan”.
Coba saya menarik mundur ke belakang. Saya membayangkan diri saya kembali ke masa lalu pada tahun 2014. Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas SMA. Tepatnya masih kelas X MIPA SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT CIS ID 113 Pondok Pesantren Darul Ulum (PPDU) Rejoso, Peterongan, Jombang. Di tempat inilah awal mula saya bertemu Majalah. Kenapa dengan majalah? Apa pentingnya majalah? Bagaimana ceritanya kok majalah itu bisa nyanthol pada ingatan, bahkan hingga saat ini? Apakah ada isi yang menarik di dalamnya? Seberapa penting isi majalah itu berdampak hingga saat ini?
Bagi saya, hal ini merupakan masa lalu saya. Majalah yang saya maksud adalah Buletin Maiyah Jawa Timur (BMJ). Ternyata, tidak terasa sudah 10 tahun lamanya, di mana majalah itu pertama kalinya menemui saya. Kenapa saya menulis diksi kata “Menemui”? Karena bukan saya yang mendatangi majalah itu. Bukan saya yang membeli majalah itu. Meminjam istilah khas ala arek-arek Maiyah, saya merasa dipertemukan dan diperjalankan bisa mengalami, bisa merasakan, bisa meresapi, bisa memaknai, dan bisa membaca majalah BMJ.
Wajar saja, memang saat itu saya sedang ngangsu ilmu atau mondok di Pondok Njoso-sebutan lain dari Pondok Pesantren Darul Ulum (PPDU) Rejoso Jombang. Saya merasa bersyukur bisa dipertemukan dan diperjalankan untuk membaca majalah BMJ. Saya juga wajib berterima kasih kepada teman saya, sahabat saya, kanca pisuh-pisuhan, kanca geguyonan, kanca sharing ilmu desain grafis, kanca sambat, dan masih banyak sebutan lainnya. Teman saya satu ini bernama Ivan Priyambudi. Ia asli Banyuwangi, dulu biasa saya panggil Bengbeng. Kalau panggilan ini, saya tidak tahu bagaimana sejarahnya.
Ya, karena dia, saya bisa membaca majalah BMJ. Teman saya satu ini rutin hadir mendatangi Padhangmbulan di Menturo, Sumobito, Jombang. Jarak dari PPDU ke Menturo kurang lebih sekitar 8 km. Pertanyaan berikutnya, kenapa saya tidak ikut ke sana saja? Misalnya berangkat bareng dengan teman saya itu. Jawaban saya; peraturan Asrama saya di PPDU memang cukup ketat. Sedangkan, asrama teman saya itu peraturannya tidak seketat asrama saya. Karena itu, meskipun saya dulu pernah di Jombang selama enam tahun sejak 2011-2017, saya tidak pernah berangkat ke Padhangmbulan. Saya fokus mencatat ketika ngaji kitab kuning di PPDU; mencatat di lembar kitab kuning, mencatat di buku tulis berukuran besar-sedang-kecil.
Beribu terima kasih saya sampaikan kepada teman saya. Dia yang hampir rutin berangkat ke Padhangmbulan, ia juga rutin membawa oleh-oleh berupa majalah BMJ yang dibawa ke sekolahan. Karena itu, saya bisa membaca beragam isi tulisan di dalam majalah BMJ. Terima kasih, Bengbeng. Piye kabarmu saiki? Heuheu. Gak kerasa awakmu wis rabi heuheu. Sementara itu, saya masih bertanya-tanya, mencari ke sana-sini, bahkan hingga terbit buku kumpulan puisi saya berjudul “Vaksin Rindu” (2020), yang bahkan pernah saya bawa hingga ke puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu dengan ketinggian 3265 Mdpl pun, jodoh masih saja belum terlihat. Heuheuheu.
Berbicara konteks Njoso dengan Padhangmbulan, tentu ini berdasarkan asumsi dangkal pengetahuan saya. Saya tekankan lagi, ini berdasarkan asumsi dangkal pengetahuan saya. Melalui ilmu otak-atik-gathuk, saya temukan ada irisan-irisan yang saling melingkar. Ada pertemuan banyak hal di dalamnya. Tulisan ini hanya persepsi pribadi saya, sehingga boleh jadi tidak layak disebut sebagai fakta sejarah.
Asumsi-persepsi saya ini tidak lain berangkat dari pijakan di tanah Bangkalan, Madura. Di sana ada Mbah Syaikhona Kholil. Berbagai sumber, referensi, baik melalui media dalam bentuk tulisan ataupun video-audio cerita tentang Mbah Syaikhona Kholil Bangkalan yang pernah mewariskan semacam simbol yang berupa barang kepada empat santri pilihannya. Saya pribadi menyebut warisan itu sebagai pusaka. Adapun warisan pusaka tersebut meliputi Pisang Emas, Kitab, dan Cincin.
Pisang Emas diwariskan kepada Mbah KH Romly Tamim Njoso, dua santri lainnya yang diwarisi kitab yaitu KH Ahmad Dahlan dan Mbah KH Hasyim Asyari. Satu santri lainnya diwarisi Cincin adalah Mbah Imam Zahid atau kakek buyut dari Mbah Nun. Sehingga, antara Njoso (PPDU) dengan Padhangmbulan Menturo (Maiyah), ada dua tokoh yang nyantri pada satu guru yang sama; Mbah Syaikhona Kholil Bangkalan.
Wow, demikian sependek ingatan saya tentang masa lalu saya. Terima kasih, Cak Madrim. Karena tulisan Cak Madrim yang berjudul “Hujan dan Shareloc”, tergeraklah ingatan, pikiran, pengalaman masa lalu, dan jemari tangan saya untuk menulis tulisan ini. Masa lalu-masa kini-masa depan.
Sementara itu, Warkop WG2P tutup sejak 30 menit-an, tepatnya sekitar pukul 23.30 WIB. Saat ini, handphone saya sudah menunjukkan pukul 01.02 WIB. Dalam satu paragraf akhir yang saya tulis ini, suasana warung juga tampak sepi. Saya sendirian, tidak ada teman yang menemani. Hanya tersisa satu batang rokok, satu gelas kopi yang tersisa ampasnya, dan sepeda motor Megapro produk keluaran tahun 2005 warisan almarhum ayah. Semoga, akan lahir tulisan-tulisan selanjutnya. Yang mencoba menjawab rangkaian teka-teki pertanyaan sekaligus pernyataan dari dalam benak pikiran saya. Sementara, tulisan ini cukup sampai di sini dulu. Tidak lupa juga wajib bagi saya untuk mengirim Al-Fatihah kepada Ivan Priyambudi alias Bengbeng daan Cak Madrim. Al-Fatihah.
Gresik, 12-13 Oktober 2024
Febrian Kisworo Aji
JM Damar Kedhaton, seorang bocah ingusan yang gemar riwa-riwi dan mencari inspirasi dari secangkir kopi.