Di tengah arus globalisasi, Indonesia hari ini tidak hanya menghadapi tantangan dari aspek ekonomi dan politik saja, melainkan juga diombang-ambingkan oleh krisis kepemimpinan moral. Pada 2024, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia adalah 34. Skor ini menempatkan Indonesia dipersepsikan sebagai negara dengan tingkat korupsi yang buruk. Jika dibandingkan dengan 10 negara ASEAN lainnya, Indonesia berada di peringkat ke-5 di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste dan Vietnam. Di samping itu, Ketimpangan ekonomi pun belum terselesaikan, dengan Gini Ratio stabil tinggi di angka 0,395. Sementara itu, survei nasional menunjukkan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ini adalah tanda-tanda bahwa bangsa ini sedang tercebur dalam jurang yang dalam.
Dalam situasi seperti ini, ajaran leluhur Nusantara menawarkan sumber daya moral yang segar. Salah satunya adalah konsep Kepemimpinan Blimbing yang diwariskan oleh Sunan Ampel, melalui syair Ilir-Ilir. Melalui tradisi itu, blimbing dengan lima gigi dapat disimbolkan sebagai wujud penyucian dan penyembuhan. Pohonnya yang licin menggambarkan sulitnya proses naik ke pucuk kepemimpinan yang sejati, ia tak bisa dicapai dengan cara serampangan, licik, atau sekadar transaksional.
Kepemimpinan Blimbing bukanlah tipe pemimpin yang hanya mewakili golongan, melainkan bernafas spirit Bocah Angon: gembala yang merangkul semua pihak. Ia tidak membangun garis pemisah yang mengkotak-kotakkan golongan-golongan tertentu, melainkan menjadi garis resultan yang menciptakan kedamaian bersama. Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural, karakter Bocah Angon ini kiranya menjadi relevan untuk diugemi. Yakni, sosok pemimpin yang mampu melampaui sekat-sekat politik, agama, ras, dan kelas sosial. Ia adalah pemancar kasih sayang yang diterima semua warna, bukan pembawa bendera satu golongan.
Lebih jauh lagi, Kepemimpinan Blimbing adalah model kepemimpinan yang berlandaskan hijrah pada prinsip nilai-nilai luhur. Ia bergerak menapaki langkah dari logika kekuasaan menempuh perjalanan rakaat panjang menuju logika penyembuhan sosial. Kanjeng Mbah Sunan Ampel mengajarkan, sari blimbing itu dipakai untuk mencuci pakaian nasional yang robek-robek. Simbol krisis moral yang telah melahirkan krisis politik dan ekonomi. Inilah kritik halus terhadap kepemimpinan Indonesia kontemporer yang, meski berganti rezim, sering kali masih terperangkap dalam budaya kekuasaan yang kotor, penuh intrik, dan mengabaikan luka sosial yang kian menganga.
Relevansi konsep ini dalam situasi nasional hari ini sangat nyata. Dengan krisis ketimpangan ekonomi yang masih tinggi, problem korupsi yang sistemik, dan kepercayaan publik yang rapuh, Indonesia membutuhkan kepemimpinan penyuci. Pemimpin yang berani mengakui dosa masa lalu dan memulai proses pembersihan moral secara kolektif. Bukan pemimpin yang sekadar menang dalam kontes pemilu musiman lima tahun sekali, tetapi yang mampu memulihkan kepercayaan rakyat lewat teladan etis dan tindakan nyata.
Lebih penting lagi, Kepemimpinan Blimbing mengingatkan bahwa proses menuju puncak harus melalui perjuangan moral, bukan sekadar taktik politik penuh gimmick belaka. Pohon blimbing itu memang licin: siapa pun yang ingin memetik sari kebaikan bagi rakyatnya harus siap menempuh jalan yang sulit, melawan godaan pragmatisme, dan menjaga integritas di tengah tekanan oligarki dan kepentingan sempit.
Dalam konteks ini, bangsa Indonesia perlu kembali bertanya pada dirinya sendiri: apakah kita hanya ingin bangun dan berlari, ataukah kita juga ingin menyadarkan akal pikiran dan hati nurani kita? Syair Ilir-Ilir mengingatkan bahwa kebangkitan sejati tidak cukup hanya bermodal fisik, tetapi juga dibutuhkan moral dan spiritual.
Kita mengutuk perampok, namun diam-diam merindukan giliran untuk melakukan hal itu. Kita mencerca penguasa yang lalim, tapi dengan ambisi terselubung untuk menggantikannya. Inilah cermin retak bangsa kita yang harus kita akui, agar kita bisa mencuci pakaian nasional kita yang robek-robek.
Kepemimpinan Blimbing adalah tawaran jalan keluar untuk membangun kepemimpinan baru yang bukan sekadar memerintah, tetapi menggembala, menyembuhkan, dan menyucikan. Ia relevan bukan hanya sebagai konsep budaya, tetapi sebagai model politik yang bisa menjadi kerangka baru dalam membangun negeri yang baldatun thayibbatun wa rabbun ghafur.
Di tengah krisis multidimensi yang cukup kompleks pada hari ini, Indonesia butuh pemimpin blimbing. Pemimpin yang memanjat pohon licin dengan daya angon, untuk memetik sari penyucian dan menyiramkan air kehidupan baru bagi bangsa ini.
Dengan spirit cinta sebagai modal utama dalam ikhtiar bershadaqah kepada bangsa, serta berlandaskan paseduluran al-mutahaabbîna fillâh, mari bersama menata hati dan menjernihkan pikiran, merefleksikan tema Kepemimpinan Blimbing dalam Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-101, yang akan digelar pada:
Hari/Tanggal: Selasa, 20 Mei 2025
Waktu: Pukul 19.23 WIB
Tempat: Balai Desa Raci Kulon, Kecamatan Sidayu, Gresik