Ketika Blimbing Jadi Metafora Kepemimpinan
(Reportase Majelis Ilmu Maiyah Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-101, Mei 2025)
Malam sudah mulai larut saat saya nebeng di mobil yang dikemudikan Cak Gogon. Mobil melaju perlahan menyusuri jalanan pelosok desa. Di samping kiri-kanan, tampak hamparan sawah dan tambak terbentang luas, gelap dan hening, nyaris tak ada tanda-tanda aktivitas warga. Warung-warung kopi tutup, lampu-lampu halaman rumah sebagian warga juga sudah dipadamkan. Suasana malam itu menunjukkan waktu istirahat telah tiba bagi kebanyakan orang.

Namun, bagi saya malam itu justru baru dimulai. Ditemani cahaya lampu mobil yang menembus gelap, perjalanan ini membawa saya menuju rumah Pak Dul—lokasi digelarnya Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-101, Selasa, 20 Mei 2025.
Tema malam itu, “Kepemimpinan Blimbing.” Berangkat dari tulisan Mbah Nun dalam album Menyorong Rembulan yang diambil dua tulisan berjudul “Kepemimpinan Blimbing, Hikmah Sunan Ampel” dan “Fragmen-fragmen dari Renungan Emha”.
Bahkan dalam penyusunan naskah prolog tema pun disusun secara dadakan, sekitar pukul 12.00 siang, hanya enam jam sebelum Majelis Ilmu Telulikuran digelar.

Namun begitulah Damar Kedhaton. Setiap dulur yang hadir akan berusaha menelusuri makna, menggali kedalaman dari apa pun yang muncul, entah itu tema atau sekadar isyarat yang lahir secara spontan. Pengalaman, perenungan, dan kebersamaan menjadi jembatan untuk menemukan makna.
Setibanya di lokasi, alas terpal sudah tergelar rapi. Kehangatan dan obrolan ringan lebih dulu menyambut saya dan Cak Gogon. Obrolan mengalir akrab di antara kami yang sudah hadir lebih dulu pada malam itu: saya, Uwak Syuaib, Pak Dul, Cak Gogon, Cak Ghozi, Cak Jemi, dan Cak Afi. Tak ketinggalan, hidangan kudapan sederhana sudah tertata rapi. Makanan dan minuman yang selalu jadi teman setia dalam setiap percakapan kami, sebelum majelis dimulai.
Menjelang tengah malam, Cak Ateng Ngabehi datang bersama temannya, Farih. Mereka ikut nimbrung dalam obrolan santai sekitar 30 menit lamanya. Tepat pukul 00.00 WIB, majelis pun dibuka. Cak Ateng Ngabehi mempersilakan Kamituwa Wak Syuaib untuk memandu wirid sholawat tawashshulan.

“Selamat pagi, JMDK Gresik. Kita akan melangsungkan rutinitas wirid sholawat sebagai landasan sebuah majelis. Maka, pagi ini, langsung saja Cak Syuaib memimpin wirid sholawat,” buka Cak Ngabehi, yang bertugas sebagai moderator.
Terdengar lirih lafadz-lafadz yang dilantunkan, di tengah jalan pemukiman, di bawah langit dengan cuaca cerah; suasana intim nan sakral begitu kental dirasakan.
Beberapa menit kemudian, di sela-sela kesakralan pelantunan wirid sholawat, dua wajah muncul: Cak Nanang dan Cak Faris. Sesi ini dipungkasi pukul 01.00 WIB dengan doa oleh Wak Syuaib, Cak Ateng Ngabehi kembali mengambil alih, memberi arahan kepada saya untuk membuka diskusi dengan membeber prolog tema.
Cak Ateng, yang bertugas sebagai moderator malam itu, memberi arahan dengan nada tegas namun bersahabat. Satu per satu kami ditunjuk, diminta menyampaikan tanggapan atas tema yang diangkat. Giliran dimulai dari saya, lalu bergerak ke kanan secara berurutan. Seakan-akan menyusun lingkaran makna dari berbagai sudut pandang kami terhadap “Kepemimpinan Blimbing”.
Setelah saya mengulas tema sebagai pemantik awal diskusi, gilirannya Pak Dul yang nyeletuk singkat, “Kenapa kok bikin tema?” sontak hal itu membuat kami tertawa. Tapi, begitulah cara Pak Dul memecah suasana.
Menariknya, diskusi reflektif malam itu sempat bersinggungan dengan banyak hal. Mulai dari konflik India-Pakistan, ketahanan pangan, hingga program Koperasi Merah Putih. Tapi titik berat kami tetap pada merefleksikan konteks kepemimpinan dari berbagai sudut pandang.
Di tengah asyiknya diskusi, pukul 01.23 WIB, muncul notifikasi dari grup WhatsApp Damar Kedhaton. Cak Fauzi, meski tak hadir secara fisik, mengirim pesan dan mengajak seluruh JMDK menyempatkan diri untuk nderes, mengkhatamkan 30 juz Al-Qur’an. Menindaklanjuti usulan dari beberapa dulur untuk menandai momen bulan kelahiran Mbah Nun.
“Sebagai salah satu penanda menuju 27 Mei, ada beberapa dulur menyampaikan keinginan untuk nderes qur’an 30 juz. Ben gak kabotan nderes ijen, ayo’ digarap bareng wae. Didum ndhuk grup. Sing wis mari, kari lapor ndhuk grup juga,” dalam keterangan yang ditulis Cak Fauzi.
“Sing luwih penting, bar nderes sa’juz, aja lali ndunga. Ndunga apa? nggo sapa? Ya jembar lan cem-macem. Tapi yakin, mesthine ndhuk atine kene ana siji krenteg, karep, panyuwunan sing padha kan?!,” lanjut Cak Fauzi.
Diskusi pun berlanjut. Kali ini giliran Cak Nanang. Terhadap tema, dia menyodorkan pertanyaan, “Tertarik sama bocah angon? Kenapa kok malah bocah?” Katanya, bocah itu kan konotasinya masih polos, belum dewasa. Lantas kenapa dipakai untuk melambangkan pemimpin?
Dari situ, diskusi makin mendalam. Wak Syuaib menuturkan, bahwa kepemimpinan itu bisa dimasuki lewat berbagai pintu ilmu.
Salah satu referensinya dari hadits yang pernah dijelaskan Mbah Fuad. Tentang jangan meminta jabatan. Kalau memang ditakdirkan, maka akan ada pertolongan dari Allah. Bahkan, Mbah Fuad atau Ahmad Fuad Effendy (kakak kandung Mbah Nun) sendiri, kata Wak Syuaib yang mendapat cerita dari salah satu sahabat karibnya, tak pernah menyuruh orang. Sikapnya loman, ringan tangan, dan lebih memilih menunjukkan keteladanan.
Bahwa, Rasulullah SAW pernah bersabda tentang larangan meminta jabatan. Dari Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Nabi SAW berkata :
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Artinya: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.” (HR. Bukhari).
Wak Syuaib lalu menyinggung 7 kriteria kepemimpinan menurut Mbah Fuad, meski lupa untuk menyebut semuanya secara rinci. Tapi satu hal yang jelas, sambung Wak Syuaib, seorang pemimpin mesti paham sejarah tentang dirinya sendiri, juga sejarah tempat atau orang yang akan dipimpinnya.
- Diskusi terus mengalir tanpa perlu diarahkan Khas Jama’ah Maiyah
Pembahasan kemudian mengarah ke syiir Mbah Kanjeng Sunan Ampel yang menyebut “bocah”. Mungkin yang dimaksud bukan bocah dalam arti usia, tapi kesadaran tentang kesederhanaan dan ketahanan diri. “Arek angon iku kan kuat,” kata Wak Syuaib. Ia bisa tidur di sawah, manjat pohon, minum pakai tangan, dan memimpin ternaknya tanpa banyak bicara—kadang di depan, kadang di belakang. Ada seni tersendiri dalam ngangon.
Kemudian disambung Cak Ghozi. Menurutnya, pemimpin yang baik harus punya chemistry dengan yang dipimpinnya. Bukan sekadar memberi perintah saja, tapi juga ikut serta bertanggung jawab atas siapa saja yang dipimpin.
Cak Ateng Ngabehi kemudian menyelami makna “Kepemimpinan Blimbing”. Katanya, bentuknya bintang, simbol rukun Islam yang harus dipegang teguh dalam kesadaran. Batang pohonnya yang licin jika dipanjat, tapi harus diupayakan.
“Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi. Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira,” dalam lirik teks sya’ir Ilir-ilir.
Lalu Farih, temannya Cak Ateng, nyeletuk soal “ijo royo-royo”. Ia bertanya. Hijau yang mana? Dari padi? Atau dari daun yang lain? Pertanyaan ringan yang membuka ruang penafsiran tadabbur dalam diskusi malam itu.
Wak Syuaib merespon semua pendapat hingga pertanyaan dari dulur Damar Kedhaton. Bahwa, semua orang bisa jadi pemimpin. Minimal, memimpin dirinya sendiri. Kalau sudah bisa ngangon diri, baru bisa memimpin orang lain.
Cak Gogon memperkuat. Pengalamannya sendiri dalam berwirausaha dalam bidang servis hape. Ia menerapkan metode pendekatan sinau bareng ala Maiyah. Ketika mencium gelagat karyawannya yang sedang ditimpa masalah, ia akan mengajak ngopi. Ngobrol ringan, membangun kesadaran bersama untuk bareng-bareng bertumbuh. Mengurai permasalahan dan mencari solusi jalan keluar.
Sebelum ditutup, Pak Dul menjelaskan kutipan lirik dalam syi’ir Ilir-ilir. “Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar.” Yang artinya, proses menuju kematangan butuh dirawat, dijaga, dipahami seperti mengurus tanaman padi yang sedang akan berbuah.
Pukul 02.30 WIB, Majelis Telulikuran edisi ke-101 akhirnya ditutup. Suasana hening dan sunyi kembali menyelimuti Desa Racikulon. Tapi percakapan kami tentang “kepemimpinan blimbing” tetap mengendap di kepala. Seperti rasa belimbing sayur—kecutnya segar, tak mudah dilupakan.
(Redaksi Damar Kedhaton/Febrian Kisworo)