Aku, Anak-Anak, dan Kecemasan yang Menumbuhkan

Aku, Anak-Anak, dan Kecemasan yang Menumbuhkan

 

Beberapa hari menjelang tanggal 24 Mei 2025 pikiranku terus-menerus digerogoti rasa tak nyaman, seperti kecemasan yang tidak bisa dijelaskan lewat kata-kata. Undangan menjadi guest teacher untuk pelatihan menulis di MI Unggulan Citra Taman Siswa, Menganti, Gresik, semula kuterima dengan senyum malu-malu dan semangat yang belum utuh.

Aku mulai membayangkan wajah bocah-bocah cilik itu. Sekitar 149 anak, dari kelas 1 hingga kelas 6, di kelas Prestasi. Aku memang sudah tidak asing dalam dunia kata-kata, tapi bagiku, anak-anak adalah dunia yang sepenuhnya berbeda. Mereka polos, jujur apa adanya, spontan, dan diam-diam kuyakini betul; memendam rasa ingin tahu yang sangat dalam.

Rasa gelisah itu menuntunku untuk melihat diriku jauh ke belakang. Entah mengapa, yang aku tuju bukan buku teori-teori tentang menulis, atau Mbah Google yang punya segudang pengetahuan dan bahan untuk anak-anak. Justru wajah-wajah guru “masa lalu” tiba-tiba muncul dari benak isi kepalaku. Mereka yang dulu membimbingku menulis, memahami kata, dan menjalin narasi dengan rasa.

Ada Mbak Eryani Widyastuti—atau yang akrab disapa Mbak Wiwit. Beliau adalah “guru” menulis “profesional” yang pertama kali kukenal lewat Damar Kedhaton Gresik. Saat itu, aku dibonceng motor oleh Cak Fauzi untuk menghadiri sebuah workshop menulis bertajuk “Writing From The Soul”. Kegiatan ini digelar pada Sabtu, 28 April 2018, di Cindellaras Cafe, Desa Siwalan, Panceng, Gresik.

Berikutnya, ada Pak Dawam—guru SD yang pernah memberiku tugas menulis catatan harian. Bahkan, catatan itu masih kusimpan hingga sekarang, meski kertasnya mulai compang-camping. Pada Kamis, 15 Mei 2025, malam hari, aku sengaja tiba-tiba menghubungi beliau. Aku langsung sowan ke rumahnya, yang masih berada di desa yang sama denganku.

Juga Bu Putri guru Bahasa Arab, dan Bu Isti guru Bahasa Inggris, semasa di SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT Jombang. Beliau berdua sempat kuhubungi lewat chat WhatsApp. Memang, terkesan su’ul adab, dan aku mengakuinya. Tapi, langkah itu harus segera kuambil. Sebut saja ini langkah “taktis” untuk nuwun restu di zaman kini.

Kepada Bu Putri, aku bercerita diminta untuk mengisi materi menulis cerpen di sekolah MI. Aku sempat ragu karena belum terbiasa tampil di depan publik, apalagi anak-anak MI/SD sebanyak 149 orang. Aku meminta saran terkait penyampaian materi dan cara menghadapi anak seusia itu.

Bu Putri menyarankan membuat presentasi PowerPoint lengkap dengan foto kegiatan menulis saya, serta membawa hadiah kecil agar murid makin semangat. Beliau juga berpesan supaya ada sesi praktik menulis atau wawancara agar anak-anak bisa ikut terlibat aktif. “Anak-anak itu seru, asal pendekatannya kreatif,” tulis beliau.

Pesan serupa saya kirim ke Bu Isti. Beliau membalasnya dini hari. Menurut beliau, anak MI perlu pendekatan yang interaktif dengan suasana yang cair atau tidak terlalu kaku nan membosankan. Beliau juga mendukung rencanaku menambahkan games dan mengingatkan agar anak-anak dilibatkan langsung dalam kegiatan.

Aku menghubungi beliau-beliau, bukan sekadar untuk meminta saran, bahkan bukan pula semata-mata soal mencari restu. Sebab dalam diriku yang mulai tumbuh dewasa ini, ternyata masih hidup bocah kecil yang ingin dipeluk dan diyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dan di antara curhat, saran, serta doa-doa yang mengalir dari mereka, aku menemukan sebentuk ketenangan. Ia hadir melengkapi ikhtiarku dalam mentadabburi awal ayat ke-27 dari Surat Al-Fajr: “Yā ayyatuhan-nafsul-muṭma’innah” artinya : wahai jiwa yang tenang.

Ayat-ayat Allah, rupanya, tak pernah benar-benar “pergi”. Ayat-ayat tersebut tinggal dalam cara kita menata ulang diri di tengah kebingungan; dalam cara kita membingkai kembali kecemasan menjadi keberanian. Dan tak bisa dipungkiri, semua ini pun kutemukan dalam Maiyahan. Mbah Nun berkali-kali mengingatkan hal serupa—bahwa cara berpikir tak selamanya harus linier. Ada saatnya ia bersifat siklikal, spiral, bahkan zig-zag. Sebuah evolusi cara berpikir yang membuatku tetap waras dalam berenang mengarungi gelombang kehidupan.

Dalam perjumpaan hari-hari sebelumnya di warung kopi bersama para wartawan senior, aku lebih banyak diam. Dan dari diam itu, aku mendapatkan banyak hal. Diam memberiku ruang untuk menyerap cerita hingga tuntas. Aku menyadari, menjadi wartawan tidak selalu soal cepat menulis atau segera merekam, baik kejadian maupun bentuk suara dari narasumber. Terkadang, justru lewat diam, kita mengendapkan makna yang lebih mendalam. Belakangan ini baru kusadari melalui pintu reflektif untuk membuka ruang kontemplasi diri.

Lalu, Kamis malam hingga menjelang Jumat dini hari, 22–23 Mei 2025, aku membuat sebuah keputusan yang mungkin terdengar tidak masuk akal: menempuh perjalanan dari Kebomas ke Menganti, hanya untuk ngopi dan ngobrol dengan pendongeng kawakan, Cak Pitro yang juga dulur Damar Kedhaton. Ia aku hubungi pukul 20.30 WIB. Keputusan itu serba spontan. Tiba-tiba saja aku menghubungi Cak Pitro, di tengah proses menyusun materi PowerPoint di Herodeco.

Aku tahu betul, Cak Pitro bukan sekadar pendongeng biasa. Ia punya rekam jejak panjang. Perjalanan 30 menit dari Kebomas menuju Menganti kulalui dengan satu keyakinan, ada sesuatu yang wajib kupelajari malam itu.

Setiba di sana, kami duduk cukup lama. Aku menyimak dengan saksama. Belajar tentang naik-turun intonasi suara, membaca ekspresi anak-anak, menciptakan suasana interaktif, hingga teknik ice breaking ala Maiyah.

Dengan ketenangannya, Cak Pitro memberiku bekal yang tidak kutemukan di tutorial manapun: bahwa untuk menghadapi anak-anak bukan soal menyampaikan isi kepala, tapi membuka isi hati. Menyampaikan dari hati ke hati. Ia bahkan menawarkan diri untuk mendampingi di hari pelaksanaan. “Kalau kamu butuh aku, aku siap. Kalau pun saat di lokasi aku tidak dibutuhkan, tidak masalah juga,” katanya. Kalimat itu, yang disampaikan tanpa tekanan, justru membuat hatiku luluh—dan diam-diam menumbuhkan rasa percaya diri.

Yang paling mengejutkan, seluruh proses ini justru membawaku kembali pada satu kesadaran: titik awal. Aku dihadapkan lagi pada pertanyaan yang nyaris kulupakan—kenapa aku menulis?

Menyiapkan materi untuk anak-anak membuatku membuka kembali diriku sendiri—anak kecil yang dulu menulis dengan pensil tumpul di buku harian, hanya karena merasa ada sesuatu yang harus ditulis, meski belum tahu kenapa. Dan kini, tawaran menjadi guest teacher ini malah menjadi jalan pulang. Pulang ke niat awal, mendekat ke suara batin yang nyaris tenggelam dalam rutinitas jurnalistik yang kerap memburuku.

Menjelang hari H, aku tak lagi sepenuhnya takut atau ragu. Bukan karena merasa sudah mahir, tapi karena aku datang dengan ikhtiar melandasi pondasi niat: untuk mempelajari mereka, bukan untuk belajar dari mereka.

Aku juga tidak ingin tergelincir niat, menjadi merasa sedang mengajari mereka menulis. Padahal, tulisanku saat kelas 5 SD pun—15 tahun kemudian—kutertawakan sendiri. Aku hanya ingin mengajak mereka merasakan bahwa menulis itu menyenangkan, bisa dilakukan siapa saja, dan layak diperjuangkan.

Dan untuk itu, aku tidak perlu merasa sempurna. Aku hanya perlu hadir sepenuhnya. Dengan bekal dari guru-guru, kopi malam bersama dulur Damar Kedhaton, dan keyakinan bahwa di balik setiap kecemasan, selalu ada ruang untuk bertumbuh. Terus berjalan.

 

WG2P, 28 Mei 2025

Febrian Kisworo

JM Damar Kedhaton tinggal di Cerme – Gresik