Prolog MIT (Majelis Ilmu Telulikuran) Damar Kedhaton Gresik edisi ke-102, Juni 2025 “Membaca Isyarat, Menjaga Amanat”

Ada saatnya dalam hidup, di mana manusia merasa sedang berada di antara dua dunia. Yang satu dunia nyata: penuh problem, keruwetan sosial, janji politik yang kerap mengecewakan, dan kelelahan berpikir yang tak kunjung usai. Yang satu lagi dunia yang hening, penuh gelombang tak kasatmata, tapi justru terasa paling hidup. Misalnya dunia batin, dunia cahaya, dunia isyarat.

Di Majelis ini, kita diajak Mbah Nun lewat tulisan “Tarian Tali-Tali Cahaya” untuk melihat dunia bukan hanya lewat kacamata kasat mata. Tapi dengan hati yang lebih tajam dari mikroskop. Lebih luas dari teropong. Kita tidak sedang membahas langit untuk melupakan bumi. Tapi justru sedang belajar bagaimana langit dan bumi itu ternyata saling berjalan beriringan: lewat ribuan, mungkin jutaan tali cahaya.

Apa itu tali cahaya? Mungkin tali tajalli. Mungkin hidayah. Mungkin cinta. Atau sekadar “hal-hal yang bikin hati kita hangat dan dada kita plong”, tanpa harus didefinisikan.

Kalau diam-diam dibaca dari tulisan Mbah Nun, ada gambaran tentang sebuah arena. Bukan arena politik, bukan arena seminar, apalagi debat kusir seperti di televisi. Tapi arena yang tak tampak. Yang dihuni ribuan makhluk bercahaya. Tali-tali cahaya bersilangan di udara. Tak berisik. Tapi hidup. Riuhnya justru dalam kesunyian. Seperti pesta yang digelar diam-diam, tapi pancaran sinarnya menembus lapisan realitas yang tak bisa disentuh logika biasa.

Di sanalah hadir dua tokoh yang sering jadi jendela kita memahami hidup: Saimon dan Markesot. Kali ini, Saimon membawa Markesot ke tengah-tengah pesta cahaya itu. Ada misi tersembunyi dari Kiai Sudrun. Misi mulia, tapi agak dilematis: menyuruh Markesot “kembali ke bumi”.

Markesot, sosok yang selama ini hidup agak menyepi dari riuh dunia — barangkali bukan “orang tua”, tapi pribadi yang sudah jenuh dan letih dengan debat tak produktif, konflik sosial, dan tipu muslihat kekuasaan, kini ditantang untuk kembali peduli. Tapi dengan caranya sendiri. Dengan ritmenya sendiri.

Kalau ditarik ke hidup kita, barangkali begini:

Ada kalanya manusia melangit — memintal cahaya. Dalam bentuk doa, pengharapan, pasrah, tunduk, dan yakin bahwa ada hal-hal yang sepenuhnya adalah urusan langit. Di sisi lain, manusia juga tak boleh lupa membumi. Kita hidup di bumi, menghirup oksigen dari bumi, berjalan di atas tanah, makan dari hasil bumi. Kita ditugasi Tuhan menjadi khalifah di sini. Menjadi pemelihara, bukan perusak.

“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30)

Lantas, apa jadinya jika manusia hanya melangit, tapi membiarkan bumi porak poranda?

Air, misalnya. Takdirnya mengalir. Ia akan turun dari tempat tinggi ke tempat rendah. Ia akan mencari celah, mengisi ruang. Jika jalan air tertutup karena ulah manusia sendiri — hutan dibabat, tanah disemen, sungai dipersempit — maka jangan salahkan alam ketika banjir datang. Bukan air yang membangkang. Tapi manusia yang menutup jalan air mengalir. Lalu dengan mudahnya menyebut itu sebagai “bencana alam”, padahal lebih tepatnya “bencana akibat kelalaian manusia”.

Maka, hidup ini butuh harmoni. Langit dan bumi tidak saling mendominasi, tapi bekerja sama dalam irama yang disusun Tuhan. Jika langit menurunkan cahaya, maka bumi semestinya merespons dengan kesadaran.

Kalau manusia hanya melangit terus, tanpa membumi, siapa yang akan menjaga tanah ini? Siapa yang akan mengurusi tetangga yang lapar? Siapa yang akan mengelola sawah, menjaga sungai, membersihkan selokan?

Dan kalau semua terlalu membumi, sibuk kerja, sibuk rapat, sibuk debat, tapi lupa berdoa, lupa mengingat arah pulang, maka jangan-jangan hidup kita hanya sekadar aktivitas tanpa arah. Seperti mobil kencang tapi lupa bawa peta.

Markesot dan Saimon, seperti biasa, berdialog di pinggiran arena. Tempat semua perayaan cahaya sedang berlangsung dalam sunyi-senyap. Mereka tidak sedang membahas harga cabai atau hasil pilkada, tapi juga tidak sepenuhnya melepaskan diri dari persoalan-persoalan itu.

Maka, mari kita pelan-pelan belajar bersama. Bagaimana menjadi manusia yang sanggup berdiri tegak di bumi, tapi juga tidak memutus tali cahaya tajalli ke langit? Bagaimana menjadi hamba yang mencintai doa, tapi juga tidak lari dari kerja nyata? Bagaimana merawat dunia, tanpa kehilangan arah menuju Tuhan?

Markesot mungkin mewakili kita semua.

Yang bingung menyeimbangkan antara kontemplasi dan kontribusi. Antara zikir dan kerja. Tapi justru dari kebingungan itu, lahir kesadaran baru. Bahwa hidup bukan soal memilih melangit atau membumi. Tapi menari di antara keduanya. Menjadi bagian dari tarian tali-tali cahaya itu.

Datang dengan hati terbuka, pulang dengan cahaya yang bertambah. Mari kita sinau bareng, memaknai bersama, dalam Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-102 bertema “Membaca Isyarat, Menjaga Amanat” pada :

 

Hari/Tanggal : Rabu, 18 Juni 2025

Waktu : 19.23 WIB

Tempat : Musholla Al Hikmah RT 4 RW 8 Perumahan Griya Kencana Desa Mojosarirejo, Kecamatan Driyorejo, Gresik.