Bukan Forum Biasa, Ini Soal Amanat dan Cahaya dari Langit
(Liputan Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Edisi ke-102, Juni 2025)
Tidak ada keramaian yang mencolok malam itu. Tak satu pun sorot lampu berlebihan, tak ada bendera warna-warni, apalagi baliho besar. Hanya satu banner sederhana terbentang di dalam ruang utama langgar kecil: Telulikuran Lingkar Maiyah Gresik – Damar Kedhaton.
Musholla Al-Hikmah RT 4 RW 8, Perumahan Griya Kencana, Desa Mojosarirejo, Kecamatan Driyorejo, Gresik, malam itu menjelma ruang tafakur dan tadabbur bersama. Semoga kelak, tempat ini menjadi saksi di akhirat. Puluhan dulur Damar Kedhaton datang tanpa pamrih, menempuh perjalanan jauh menuju Gresik wilayah selatan. Tanpa tujuan apapun selain melingkar dalam paseduluran al-mutahaabbina fillah untuk sinau bareng.
Di atas lantai keramik putih, sudah tersedia gelas-gelas kopi, gorengan hangat, pentol, dan kudapan ringan. Sederhana, namun cukup sebagai teman malam bagi siapa pun yang datang bukan untuk berpesta, melainkan untuk kenduri batin dalam majelis ilmu.
Malam itu, berlangsung Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-102, pada Rabu, 18 Juni 2025. Sekitar 35 dulur hadir. Tak ada daftar hadir resmi, tak ada panggung maupun kursi bagi tamu istimewa. Semua yang hadir duduk melingkar. Di forum ini, nama besar hanya milik Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Forum dimulai dengan nderes Juz 12 oleh Haikal, putra Kaji Bombom, ditemani Cak Tedjo, Ketua Takmir Musholla yang juga dulur Damar Kedhaton. Pukul 23.00 WIB, suasana menjadi semakin khusyuk. Wirid, sholawat, dan tawashshulan dikumandangkan bersama-sama. Sesi yang dipandu oleh Kamituwa Uwak Syuaib dan Cak Fauzi ini, selesai pukul 00.30 WIB. Di ruang utama musholla yang sederhana itu, terasa ada pancaran yang tak kasat mata. Sebut saja cahaya yang hanya terlihat dan dirasakan oleh hati yang bersih.

Forum ini sejak awal telah menyepakati batas waktu, harus rampung pukul 02.00 WIB. Sebagai bentuk hormat dan ngugemi “aturan tidak tertulis” dari warga setempat. Meski begitu, tidak ada yang merasa dibatasi. Semua dulur yang hadir menyepakati keputusan itu. Semua sadar dan memahami, bahwa menjaga amanat lebih penting daripada berlarut-larut dalam kegembiraan diskusi.
Karena ini adalah forum yang merdeka, tak ada paksaan, apalagi aturan baku formal. Setelah tuntas sesi wirid, sholawat, dan tawashshulan, sebagian dulur pamit undur diri tidak bisa mengikuti rangkaian kegiatan hingga berakhir. Sisanya berpindah ke pelataran musholla, melanjutkan sesi elaborasi tema.

Diskusi mengalir hangat dan cair. Cak Irul, Cak Ateng Ngabehi, Cak Gogon, dan Cak Zainul menyelipkan canda dan cerita di tengah-tengah diskusi tema berlangsung. Tema malam itu, “Membaca Isyarat, Menjaga Amanat.” Sebuah tema yang berangkat dari tulisan Mbah Nun serial Daur berjudul “Tarian Tali-tali Cahaya”.
Tarian Tali-tali Cahaya. Tentang makhluk-makhluk yang disambung oleh cahaya dari langit. Barangkali itu bisa disebut sebagai tali mahabbah, tali tajalli, dan tali cinta. Gelombang halus yang menyambung langit dan bumi, dan hanya bisa dirasakan oleh hati yang bening. Forum malam itu, semoga menjadi bagian dari perwujudan kecil dari tarian cahaya itu sendiri.
Bagi dulur Damar Kedhaton, membaca isyarat bukan hal baru. Ia bisa muncul “mak bedunduk”. Misalnya muncul dari pembacaan diri terhadap gejolak sosial, mimpi, atau pemaknaan secara batin. Tapi malam itu juga disadari bersama, membaca saja tidak cukup. Ada koma dalam tema. Setelah membaca isyarat, lanjut menuju kesadaran diri akan tanggung jawab, yakni menjaga amanat.
Amanat bukan SK atau Surat Keputusan resmi. Bukan pula jabatan. Ia lebih dalam. Amanat keberadaan sebagai manusia dan khalifah di bumi. Sebagaimana dalam QS Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Menjadi khalifah adalah tugas sebagai manusia yang ditakdirkan hidup di atas bumi. Khalifah itu bukan gelar. Ia adalah wujud kesadaran bahwa hidup, tubuh, waktu, serta rezeki—semuanya hanya titipan. Maka menjaga amanat adalah menjaga hidup itu sendiri, sebagai bentuk syukur dan tanggung jawab kepada Sang Maha Pemberi.
Menjelang pukul 02.00 WIB, gelas-gelas dibereskan, sisa kudapan dibungkus rapi. Tak ada kesimpulan resmi dari forum. Tapi justru itulah puncaknya. Majelis Ilmu Telulikuran tidak hadir untuk memberi jawaban, tapi membuka ruang pertanyaan baru yang lebih dalam, dan lebih luas.
Forum ini tidak menghasilkan produk diskusi. Tapi ia membangkitkan kesadaran baru bahwa isyarat selalu hadir, dan amanat selalu menanti. Manusia tinggal membersihkan diri, menangkap dan peka terhadap cahaya sunyi itu, lalu menjaganya dengan kesadaran sepenuh hati, seluas tanggung jawab sebagai amanat.
Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-102 pun diakhiri. Namun tarian cahaya itu, mungkin masih terus menari dalam batin mereka yang hadir. Dalam diamnya perenungan, dalam setiap kaki melangkah mengiringi irama waktu, dan dalam amanat yang harus dijaga.
Febrian Kisworo
Redaksi Damar Kedhaton