Bangsa Indonesia saat ini nampaknya benar-benar sedang terombang-ambing di tengah arus zaman. Konon, tanah ini adalah sepenggal surga. Tapi hari ini, yang tampak justru seperti kapal besar yang oleng. Tidak tahu arah yang dituju, dihantam badai bertubi-tubi, sementara orang-orang di dalamnya malah sibuk menyalahkan sana-sini. Tak banyak yang mau duduk bareng dan saling menolong satu sama lain.
Lihat saja sekeliling kita. Kekacauan politik, ekonomi, dan sosial saling tindih-menindih. Kepercayaan kepada pemimpin, lembaga, bahkan sesama rakyat pun makin menipis. Luka-luka sosial makin terbuka, krisis datang silih berganti. Dan barangkali, dari situ lahirlah rasa lelah kolektif yang sulit disembuhkan. Kelelahan yang membuat banyak orang merasa asing, bahkan dalam kehidupannya sendiri.
Apa pun hari ini terasa retak. Di level mana pun. Elit politik saling berebut suara dan muka, demi kuasa dan proyek. Rakyat jadi semacam “kelinci percobaan”, yang bisa sewaktu-waktu dijadikan objek, atas nama kebijakan yang berubah-ubah dan sering kali membingungkan. Sementara itu, kebenaran tertimbun di bawah tumpukan kepentingan pribadi yang makin tebal. Kacau sudah dan makin rumit.
Gelaran pemilu lima tahunan pun seolah hanya dijadikan sebagai ajang ritual formalitas belaka. Hanya berganti baju, berganti warna, berganti topeng. Tapi isi kepalanya masih sama. Katanya sih pemilu demokratis; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil. Tapi belakangan, jargon itu seperti jadi rahasia umum yang hanya berupa slogan tanpa ada esensinya. Di balik layar, ada taruhan-taruhan yang dimainkan. Nyatanya, ini semacam outsourcing kekuasaan. Di mana nasib rakyat diserahkan kepada orang-orang yang sibuk membela kelompoknya sendiri. Janji menguap sesaat setelah bilik suara ditutup. Sisanya cuma kekecewaan yang terus terjadi secara berulang. Bahkan pola ini merembet ke struktur sosial masyarakat, organisasi, hingga komunitas. Nyaris semua lapisan ikut berjalan dalam siklus serupa.
Di tengah semua itu, kita seperti dipanggil kembali oleh sebuah tulisan lama dari Mbah Nun berjudul “Syafaat Rasul”. Meski ditulis tahun 1998 lalu, tulisan itu terasa sangat dekat dengan keadaan hari ini. Mbah Nun membayangkan masa depan bangsa dengan pertanyaan yang tajam, sekaligus jujur. “Apakah kita akan memilih keselamatan, atau kehancuran?”
Tulisan itu lahir dari pengalaman panjang. Dari jarak pandang seseorang yang memutuskan untuk tidak ikut rebutan kursi, tapi tetap memilih terlibat lewat gerakan sholawatan, kemanusiaan, dan kebudayaan. Mbah Nun melihat bangsa ini seperti padi yang diayak di tampah. Sedang disaring. Mana yang sungguh-sungguh ingin menyambung sejarah, dan mana yang akan gugur oleh kebodohan kolektif.
Namun, melihat itu semua bukan pesimis yang ditawarkan. Namun justru harapan di tengah kegelapan zaman, karena rahmat Allah tak pernah berhenti ditaburkan. Negeri ini punya segalanya; tanah yang subur, laut yang luas, kekayaan alam yang luar biasa, dan manusia-manusia yang sejatinya sanggup membawa cahaya. Tapi semua itu akan jadi sia-sia kalau kita terus boros dan hanya bermain-main dengan senda gurau. Kalau rahmat itu tidak kita kelola jadi barokah, malah jatuhnya akan jadi musibah.
Maka, syafaat Rasul adalah sesuatu yang penting untuk selalu kita harap dan nantikan. Tapi tidak cukup hanya berharap. Syafaat bukan hadiah yang bisa datang begitu saja. Ia akan mendatangi hati yang bersih, niat yang jernih, dan akal yang senantiasa waspada. Bukan mereka yang terlena dalam buaian dunia, tapi mereka yang bersiap secara hati dan pikiran untuk meniti jalan keselamatan bersama.
Sejak Mei 1998, Mbah Nun memilih keliling kampung untuk sholawatan. Bukan untuk menggalang massa, atau mencari kursi jabatan strategis. Tapi beliau mengajak siapa pun yang mau, untuk saling mengikat hati dan pikiran dalam jalan kebenaran, dalam kerendahan hati, dan dalam kesungguhan nurani. Bahkan jika harus bicara soal dolar, penculikan, ekspor, dan kerusuhan, beliau tetap berusaha menjaga satu hal, jangan berdusta. Jangan membohongi diri sendiri. Jangan bicara kalau tak punya data. Jangan buang waktu untuk tuyul.
Hari ini, lebih dari dua dekade telah berlalu, kita kembali diingatkan. Kita masih punya pilihan. Mau terus hanyut dalam kebodohan yang diwariskan, atau mulai bangkit dengan kesadaran yang terus diperjuangkan? Gerakan Sholawatan itu bisa kita lanjutkan bersama. Tak hanya dengan suara, tapi juga dengan sikap, tindakan, dan pilihan-pilihan hidup sehari-hari.
Mari kita duduk bareng, melingkar kembali, menyambung gelombang frekuensi hati, mencari kejernihan pikiran dalam Majlis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-103 kali ini, dengan tema:. “Sujud dalam Kegelisahan”. Berangkat dari itu, mari berbareng kita merefleksikan diri, mengajak hati untuk kembali bertanya, apa sebenarnya yang ingin kita perjuangkan?
📆 Hari/Tanggal : Kamis, 17 Juli 2025
🕰 Pukul : 20.23 WIB
📍 Lokasi : Rumah Syaiful (Gogon), Jalan Sriwijaya RW 04, Desa Cerme Lor, Cerme – Gresik