Istiqomah yang Tak Bergantung pada Uba Rampe

Istiqomah yang Tak Bergantung pada Uba Rampe

 (Reportase Singkat Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton, September 2025)

Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-104 tetap terselenggara Senin malam (15/9/2025) di rumah Kamituwa Wak Syuaib. Meski tanpa tema, prolog, maupun poster—tiga komponen yang biasanya menjadi ajakan kepada dulur-dulur—rutinan ini tetap hidup dengan spirit istiqomah.

Keterangan foto : momen elaborasi tema

Serba dadakan, tanpa uba rampe yang biasanya melengkapi, Telulikuran kali ini justru menegaskan makna istiqomah itu sendiri. Teknis boleh terbatas, jumlah yang hadir bisa sedikit, tetapi ruh Telulikuran tidak berkurang. Obrolan ringan, saling sapa, dan tawa basa-basi menjadi pengantar suasana hingga beralih ke wirid dan sholawat. Dari ruang sederhana di rumah Wak Syuaib, nuansa kebersamaan tetap terjaga, seolah mengingatkan bahwa kekuatan Telulikuran bukan pada atribut luar, melainkan pada gelombang batin yang saling terhubung.

Sejatinya, komunikasi uba rampe sebelum hari H sudah ditempuh. Menghusnudhoni bahwa padatnya aktivitas produktif, berdaya, manfaat, dan barokah yang dialami masing-masing dulur Damar Kedhaton membuat tiga komponen “wajib” itu tidak ada.

Beberapa opsi tempat sempat muncul dalam pembahasan, tetapi tak bisa direalisasikan. Meski begitu, yang mendaku sebagai anak putune Simbah, persoalan teknis dapat dicerdasi demi meneguhkan hati pada jalan ajeg, jejeg, istiqomah. Hamdalah, Telulikuran tetap bisa berjalan tanpa meninggalkan esensi ruhnya. Diawali nderes Qur’an Juz 15, agar tidak melupakan tradisi yang sudah berjalan, Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-104 akhirnya digelar di rumah Kamituwa Wak Syuaib.

Keterangan foto: momen wirid sholawat dan tawassulan

Beberapa dulur hadir bergantian. Obrolan ringan, saling sapa, dan bertanya kabar menghangatkan suasana hingga pukul 00.00 WIB, penanda dimulainya wirid, sholawat, dan tawashshulan. Cak Pitro membuka rutinan ini, lalu sesi dipandu oleh Kamituwa Wak Syuaib.

Sebanyak 11 dulur Damar Kedhaton yang hadir tampak menikmati dan meresapi momen persembahan cinta kepada Kanjeng Nabi dan Gusti Allah melalui pintu ini. Sedikitnya jumlah yang hadir tidak menjadi penghalang untuk ngugemi kesepakatan adanya rutinan Majelis Ilmu Telulikuran, apalagi di usia perjalanan Damar Kedhaton yang memasuki 9 tahun pada Desember ini

Memasuki elaborasi tema, Cak Pitro membacakan sebagian tulisan Mbah Nun berjudul Korupsi Milik Kita Semua. Tidak seluruhnya, hanya subjudul “Sindroma Garuda-Emprit” yang dibacakan.

Diskusi berlangsung cair. Beberapa dulur saling sahut-menyahut urun perspektif. Tulisan itu berulang kali menyinggung istilah “denotasi dan konotasi”, yang menjadi pintu diskusi ke berbagai arah: mulai dari sejarah, perbedaan kepala negara dengan kepala pemerintahan, perenungan reflektif peran masing-masing di lingkungan sekitar, hingga kuda-kuda sikap presisi antara hati dan pikiran dalam hidup bebrayan sebagai Warga Negara Indonesia di berbagai level, skala, dan prioritas.

Maiyah hadir dalam bentuk gelombang frekuensi, bukan padatan. Karena itu, tidak ada poin-poin “resmi” atau bersifat wajib ditaati dalam lingkup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mas Sabrang pernah menyampaikan tiga lingkar sikap yang bisa dijadikan batasan dalam konteks sosial: lingkar perhatian, lingkar peduli, dan lingkar pengaruh. Tiga lingkar ini turut dikupas dalam elaborasi.

Dalam konteks sejarah, Kamituwa Wak Syuaib mengajak dulur-dulur merenungkan makna bendera Merah Putih. Apa arti substansi dari warna merah? Warna putih? Siapa yang berperan dalam warna merah? Warna putih?

Tak berhenti di situ, elaborasi juga menyentuh asal-usul leluhur Nusantara. Beragam sudut pandang diulas: mulai dari 18 keturunan, spirit Majapahit, hingga makna denotasi dan konotasi dari Garuda. Semua diupayakan agar menjadi kesadaran laku dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.

Tak ada cita-cita muluk untuk mengubah dunia di tengah kompleksitas ruwetnya kondisi saat ini. Semua dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Bagaimana bisa memberi manfaat bagi lingkungan sekitar dengan membawa nilai-nilai Maiyah. Bahkan setiap keputusan krusial pun harus ditempuh dengan pertimbangan sebab-akibat yang matang.

  1. Keterangan foto: momen pelantunan Sholawat Indal Qiyam

Dengan spirit belajar sepanjang hayat, Damar Kedhaton terus berjalan. Perlahan, saling belajar bareng, saling mengingatkan, dan merangkul. Menghimpun energi, gelombang, dan cinta untuk dialirkan dalam spirit gerakan ruhaniah sehari-hari. Semua perubahan dimulai dari diri sendiri. Selesai dengan diri sendiri. Tidak mudah diombang-ambingkan di tengah zaman algoritma medsos yang pekat, gelap, dan penuh nyinyiran.

Seperti Damar Kedhaton belajar dari momen Telulikuran edisi bulan ini: belajar menepati keistiqomahan, belajar sadar bahwa tiada daya dan upaya kecuali dari Allah—dengan cara ngemis paring-paring kepada Gusti Allah sebagai pondasi niat awal. Dan tentu saja, belajar menjernihkan akal di tengah banjir informasi yang kebenarannya sering kabur. Di era ketika isi bukan lagi ukuran, melainkan citra semu demi like, followers, dan uang—berhala baru di zaman sekarang ini.

 

Redaksi Damar Kedhaton

Febrian Kisworo