
Ada jiwa-jiwa yang memilih berjalan dalam keterasingan di balik misteri ruang yang sunyi. Mereka ini bukanlah pecundang zaman, bukan pula orang-orang yang menyerah pada keadaan. Mereka ini adalah kaum ghuraba; jiwa-jiwa yang tetap berjuang menyalakan nyala api nilai di tengah gelapnya zaman.
Jika puasa adalah pengendapan dan wujud sublimasi diri, maka kaum ghuraba berpuasa dari pengakuan dan pujian dunia. Mereka mengemban tugas yang tak selalu dimengerti oleh khalayak umum. Tak jarang pula, diam-diam mereka menanggung beban yang sering kali tak terlihat oleh cara pandang dunia pada umumnya. Dengan cara sembunyi-sembunyi, yang diyakini sebagai jalan ninja di balik layar; perjuangan yang mereka tempuh demi keseimbangan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Terus berjalan. Demikian spirit perjuangan rakaat panjang yang kita syukuri untuk menjalani sisa jatah usia di dunia. Seperti halnya Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton; sebuah perjalanan batin yang di dalamnya saling belajar bersama-sama untuk mencari makna. Kali ini, kita akan berbareng menggali hikmah sekaligus mentadabburi cipratan tetes ilmu pemikiran Mbah Nun dalam tulisannya, “Puasa Kaum Ghuraba”. Sebuah tulisan yang mengajak kita untuk berefleksi memahami makna dari keterasingan.
Berikut, tulisan selengkapnya:
PUASA KAUM GHURABA
Jutaan hamba Allah yang berpuasa di muka bumi, jutaan Muslimin yang menyediakan diri untuk berprihatin selama Ramadhan, sesungguhnya diam-siam sedang melakukan proses penyembuhan atas sakitnya seluruh kehidupan di alam semesta ini.
Kita semua yang merelakan diri untuk berlapar dan berhaus sepanjang hari, yang berjuang menahan diri dari berbagai kenikmatan, serta yang menundukkan hati untuk membayarkan cinta kasih kepada Allah, pada hakikatnya sedang berperan mengurangi ketidak seimbangan kosmologis ketimpangan pergaulan nilai-nilai, serta mengutuhkan kembali bangunan ciptaan Allah yang selama bulan-bulan sebelumnya kita rusak-rusak, kita retak-retakkan dan kita gerogoti
Aktivitas puasa adalah mengendalikan bagian-bagian dalam diri fisik kita untuk melakukan pengendapan, sublimasi, diam, tunduk, memasuki ‘kosong’, agar berjumpa dengan ‘isi yang sejati’. Usus kita bermeditasi, urat saraf kita meraba bagian dirinya yang terlambat, perut kita bersabar, keseluruhan organ tubuh juga rohani kita mengerjakan proses peragian.
Orang-orang yang berpuasa, sebagaimana orang-orang yang mendirikan sholat, zakat, dan haji, pada hakikatnya sedang memperjuangkan keselamatan alam semesta dan kehidupan seluruh umat manusia. Zakat memacu distribusi kesejahteraan sosial, sholat mengembalikan kewajaran metabolisme kosmologis, sedangkan puasa menarik kembali kondisi dan harkat hidup umat manusia dari segala hal yang palsu dan tidak penting menuju nilai-nilai dan situasi hidup yang sejati dan berada dalam rangkuman Sunah Allah.
Kemudian ibadah haji adalah pesta rohani untuk merayakan keselamatan dan kemenangan itu. Ada beribu-ribu fungsi, kandungan nilai, makna, dan hikmat yang dimuat oleh ibadah di dalam islam, juga puasa.
Makna dan fungsi ibadah tidak berlaku hanya pada diri pelakunya, tetapi juga bagi keseluruhan kehidupan ini. Seribu pemeluk agama Allah bisa mengembarai lautan makna ibadah berdasarkan pengamalan dan penghayatan serta perenungannya. Dan jika mereka tiba pada keterkaitan antara aktivitas shalat dan puasa massal yang berlangsung di seluruh permukaan bumi, mereka insya Allah akan menemukan betapa seluruh umat manusia di muka bumi ini seharisnya mengucapkan terima kasih kepada kaum Muslimin yang telah dengan setia menjalankan perintah ibadah, dan karena itu mereka turut memelihara keseimbangan kosmologis dan keselamatan hidup alam semesta ini.
Tetapi, siapakan yang mengetahui hal itu? Siapakah yang mengakui? Siapakah yang memiliki ilmu untuk sanggup memahami?
Kalau engkau melakukan sholat, engkau sesungguhnya sedang mengutuhkan kembali realitas lingkaran dari bibir atas ke ubun-ubun sampai ke dubur dan ke bibir bawah, lingkaran kaffah fisiologismu. Kalau berjuta-juta Muslimin melakukan sholat massal dan simultan di seluruh permukaan bumi (bayangkan gerakan berjuta orang sujud dari timur ke barat sesuai dengan urutan waktu shalat dari satu garis di bumi ke garis berikutnya), sesungguhnya mereka sedang memelihara keseimbangan siklikal metabolisme alam semesta.
Kalau orang Islam di bumi ini berhenti shalat, alam ini runtuh. Tapi siapa yang percaya hal ini? Sama dengan siapa dan ilmuwan mana yang memiliki wawasan antripososiologis rentang abad agar ia mampu menemukan kebenaran “kenapa kita harus sholat dengan bahasa Al Quran?”
Tak ada orang tahu, tak ada orang paham, tak ada orang mengakui jasa kaum Muslimin atas kelestarian alam semesta dan sejarah peradaban umat manusia. Hampir tak ada ilmu, tak ada metodologi, tak ada peluang ilmiah yang memungkinkan penjelasan “rasional” tentang itu. Maka bada’al Islamu ghariban, wasaya’udu ghariban, Islam dimulai dari terasing demi keterasingannya yang baru di setiap era sejarah. Namun kata Rasulullah, berbahagialah orang yang terasing, karena ia yang memiliki pengambilan jarak yang memungkinkan ia lebih jernih dan lebih sejati dalam menilai sesuatu.
Orang Islam menyelamatkan, tanpa orang tahu ia menyelamatkan. Orang Islam berpuasa dari pengetahuan orang lain tentang apa yang sebenarnya yang ia perankan. Orang-orang Islam adalah ghuraba, kaum marjinal. Orang terasing, disalahpahami, dikambinghitamkan, Sampai-sampai banyak orang Islam sendiri percaya bahwa ia memang benar-benar kambing hitam.
Ditengah cuaca sangat buruk, seharusnya pesawat itu jatuh, tapi Allah menyelamatnkannya berkat wirid salah seorang penumpang dan kualitas pengabdian hidupnya selama ini. Tapi siapakah yang percaya bahwa pesawat itu selamat karena orang itu berwirid? Apakah Allah hanya akan menyelamatkan si pewirid dan menjatuhkan pesawat, sementara hanya si pewirid ini dengan kursinya yang landing di juanda?
Tidak. Logika sunnatullah akan menerapkan keselamatan menyeluruh atas pesawat itu. Tapi siapa yang percaya bahwa sebenernya pesawat itu tadi akan celaka? Satu-satunya jalan untuk membuktikan kecelakaan itu adalah membiarkannya jatuh. Tapi kalau ini tidak terjadi, tidak bisa diterapkan bahwa wirid orang itu bisa mengundang kasih sayang Allah untuk menyelamatkan pesawat.
Atau rumah di seberang itu akan terbakar. Engkau tahu itu dan cepat berlari mengambil sumbernya, yang ketika itu belum berupa api, melainkan berupa hal-hal lain yang beberapa menit kemudian akan menyebabkan berkobarnya api. kalau engkau ambil api itu dan rumah jadi selamat, siapa yang percaya bahwa sesungguhnya kebakaran akan terjadi? Satu-satunya jalan untuk membuktikan bahwa engkau menyelamatkan adalah dengan mebiarkannya terbakar. tapi kalau itu terjadi, menjadi tidak terbukti bahwa engkau bisa menyelamatkan rumah itu dari kebakaran. Engkau merasa sepi. Terasing karena orang tidak memahamimu. maka engkau menggumamkan surah Al-Ikhlas….
Aku yakin, di dalam pergaulan hidupmu, di dalam keterlibatan sosial, budaya, ekonomi, dan politikmu, engkau sering mengalami keterasingan semacam itu. Engkau menyelamatkan sesuatu, tapi justru engkau dimaki-maki. Dan itulah pelajaran terpahit namun membahagiakan tentang keikhlasan.
Dan hanya Al Quran yang memiliki konsep tentang ikhlas. Tidak ada sinonim pada bahasa lain, filsafat atau kebudayaan lain.
Mari kita berbareng sinau, memaknai bersama, dengan landasan spirit memperjuangkan nilai-nilai Maiyah dalam Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-98 dengan tema “Puasa Kaum Ghuraba”, yang akan berlangsung pada:
Hari/Tanggal : Jum’at, 21 Pebruari 2025
Waktu : 19.23 WIB
Tempat: Kang Giri / Nurul Maftuhah di Dusun Tlogobedah RT. 08 / RW.04
Desa Hulaan, Kecamatan Mengganti, Kab.Gresik