Prolog Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik Edisi #99 – Maret “Menuntun Diri”

Setelah belajar soal “Puasa Kaum Ghuraba” pada Februari lalu, kita membangun ikhtiar kembali untuk belajar tentang “Karier Kepemimpinan” dalam Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-99. Bicara tentang “Karier Kepemimpinan”, ada empat kata atau term yang barangkali dapat kita jadikan sebagai pijakan awal untuk mengawali diskusi, yakni karier, kepemimpinan, pemimpin, dan pimpinan.

 Berikut definisi penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) :

  1. Karier : Perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya.
  2. Kepempimpinan : Perihal pemimpin; cara memimpin.
  3. Pemimpin : Orang yang memimpin.
  4. Pimpinan : Hasil memimpin; bimbingan; tuntunan.

 Sedikit melebar dari definisi masing-masing kata atau term di atas sebelumnya. Kemudian muncul sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang mengintisarikan empat kata/term di atas:

 “Setiap langkah yang kita pilih adalah kepemimpinan. Setiap keputusan yang kita ambil

adalah kepemimpinan. Dan sebelum menuntun orang lain, pertanyaan yang lebih

mendasar adalah: sudahkah kita menuntun diri sendiri?”

 Mari kita elaborasi-kendurikan pertanyaan tersebut, “Sudahkah kita menuntun diri?”, sebagai kunci untuk membuka pintu “Karier Kepemimpinan” secara mendalam, meruncing, dan mengerucut; memasuki tiga bahan tulisan Mbah Nun berjudul “Karier Memalukan”, “Bukan Capaian Cita-Cita”, dan “Orang yang Tak Pernah Lohor”.

 “Menuntun Diri” dalam konteks diskusi kali ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat mendalam, bukan hanya sekadar menempuh jalan karier dan pencapaian materi bersifat duniawi.

Perjalanan “Menuntun Diri”, mengajarkan bahwa keberhasilan bukan hanya soal seberapa tinggi pencapaian karier di dunia, tetapi seberapa banyak kita bisa memberi manfaat bagi sesama. Mbah Nun telah mengingatkan kita dalam tulisannya rubrik tetes di CakNun.com yang terbit 15 Desember 2017 berjudul “Karier Memalukan” ; bahwa memiliki seratus piring nasi sementara orang lain tak punya sepiring untuk makan, bukanlah pencapaian cita-cita. Itu hanya kesuksesan pribadi yang memalukan jika tidak membawa kebermanfaatan bagi yang lain.

“Jika kita punya seratus piring nasi hari ini dan jutaan piring nasi untuk makan sampai ke masa depan, sementara orang lain hari ini belum pasti akan bisa makan sepiring nasi — itu bukanlah pencapaian cita-cita. Itu sukses karier pribadi. Dan karier pribadi itu memalukan di tengah sesama makhluk di jagat raya, apalagi di hadapan Maha Pencipta dan Pemilik Sejati segala sesuatu.”

Kita juga sering terjebak dalam kebanggaan capaian yang tampak kasat mata: ekonomi, teknologi, hingga infrastruktur. Padahal, dalam tulisan lain rubrik tetes berjudul “Bukan Capaian Cita-Cita” yang dirilis pada 17 Desember 2017, Mbah Nun mengingatkan bahwa semua itu hanya peradaban yang tak berarti ketika jantung berhenti berdetak. Maka, apakah kita ingin berhenti di situ, atau menuntun diri menuju sesuatu yang lebih hakiki?

“Seandainya pun sukses yang dicapai tidak hanya berlaku pribadi, melainkan berlaku se-Negara atau se-Dunia, tetapi terbatas pada kemakmuran, sandang pangan beres, transportasi lancar, papannya gedung-gedung pencakar langit, sampai pun bisa berkomunikasi dengan teman di kutub utara memakai jari-jari sambil buang air besar, ditambah merebaknya balon-balon maya di atas kepulauan Nusantara — itu bukan pencapaian cita-cita. Itu teknologi dan peradaban yang tidak berlaku lagi begitu Jantung manusia berhenti berdetak.”

Lalu, ada satu hal yang sering luput dari perhatian, yakni kesadaran tentang “lohor.” Tentang titik di mana, secara sadar kita harus mulai berhenti, merenung, dan memahami bahwa kejayaan duniawi tidak bisa kita genggam selamanya. Dalam buku Slilit Sang Kyai (Edisi 3 Mei 2015 Hal. 137), Mbah Nun mengajak kita menyadari bahwa semua perjalanan akan tiba pada senja. Baik mereka yang bergelimang harta maupun yang tertindas dalam kesusahan, semuanya bertemu dalam tarekat, dalam perjalanan menuju makna sejati. Tetapi, betapa banyak orang yang menolak untuk berhenti, seakan-akan ingin hidup abadi dalam kekuasaan, jabatan, dan harta.

Sangu kita yang berangkat dari tiga tulisan Mbah Nun, yang semuanya bukan tentang tujuan kepemimpinan, melainkan ada pantangan-pantangan yang harus dihindari:

  1. Jangan menjadikan sukses pribadi sebagai cita-cita utama
  2. Jangan berhenti pada capaian yang kasat mata
  3. Jangan terus menuntut tanpa menuntun diri

Jika kita sadar bahwa “Karier Kepemimpinan” adalah sebuah perjalanan dan perjuangan rakaat panjang, maka pertanyaannya bukanlah “Seberapa tinggi karier dunia yang bisa kita capai”, melainkan “Seberapa bijak kita menuntun diri agar tidak tersesat atau menjerumuskan?”

Maka, diskusi sinau bareng Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-99 kali ini bukan hanya soal bagaimana cara menjadi pemimpin?, tetapi bagaimana kita belajar untuk menghindari jalan yang salah dalam memimpin diri sendiri maupun orang lain. Melalui pintu tema “Menuntun Diri”, berbareng kita ikhtiar, mari saling berbagi ilmu dengan spirit kesadaran Al-Mutahahabbina Fillah, pada :

 

Hari / Tanggal :Sabtu, 22 Maret 2025

Pukul : 19.23 WIB

Tempat : Ponpes Nurul Mubin Kubro, Desa Balongpanggang, Kecamatan Balongpanggang, Kab. Gresik