(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Damar Kedhaton Gresik Maret 2025)
Malam itu, gerimis turun perlahan di Desa/Kecamatan Balongpanggang, Gresik. Udara dingin menyelimuti tubuh, sementara dari sudut-sudut kampung masih terdengar sahut-sahutan bacaan tadarus Al-Qur’an. Di Pondok Pesantren Nurul Mubin Kubro, aula sederhana tengah dipersiapkan untuk Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-99, pada Sabtu 22 Maret 2025.
Pukul 20.00 WIB, saya tiba di rumahnya Cak Imam Arief di Dusun Sambiroto. Namun, motor Honda Beat khas miliknya tak tampak di garasi lorong samping rumah. Benar saja, saat saya meneleponnya, suaranya terdengar dengan nada yang buru-buru.
“Langsung ae nang lokasi, aku iki nggolek gorengan,” kata Cak Arief melalui panggilan ponsel.
“Loh, barang-barang e wis digawa kabeh ta, Cak? Banner, cemilan, ta lain e?” tanya saya.
“Uwes kabeh. Mek kopi thok sing durung,” jawabnya singkat sebelum menutup telepon.
Di bengkel lasnya, yang berada persis di rumah bagian belakang, istrinya muncul dari dalam rumah membawa teko besar berisi kopi. Tak lama berselang, Cak Djalil pun datang. Kami berbincang sebentar, memastikan kebutuhan apa saja yang perlu disiapkan.
“Ngentekno sak rokok’an dhisik nang kene, terus budhal,” ujar Cak Djalil dengan nada santai.
Kami pun bersiap untuk berangkat ke lokasi Telulikuran. Saya dengan membawa motor Megapro sehingga tidak bisa membawa banyak barang, sementara Cak Djalil dengan membawa kopi lantaran dimudahkan dengan sepeda motor yang ia bawa, Honda Supra.
Hanya butuh waktu lima menit untuk tiba di pondok. Sebelum Telulikuran dimulai, tampak seseorang yang rela sibuk mondar-mandir menyiapkan kebutuhan uba rampe rutinan Sinau Bareng kali ini. Dia tidak lain adalah Cak Arief, dulur Damar Kedhaton yang tanpa banyak bicara, mengikhlaskan waktu serta tenaganya untuk memastikan semuanya telah siap.
Di sana, Cak Arief tampak sendiri, menyapu aula, memastikan ruangan bersih dari daun dan debu yang terbawa hujan deras disertai angin sejak sore hari.
Cak Arief yang masih sibuk dengan sapunya, kemudian Mohammad Nasih Alhashas, tuan rumah yang akrab disapa Gus Alhas, tampak berjalan dari arah rumahnya. Ia melangkah pelan, mengenakan sarung santri dan peci hitam, ia menyambut kami dengan senyum khasnya.
Di aula, dua banner mulai dipasang—satu dengan warna dasar merah seperti poster resmi Damar Kedhaton edisi ke-99, satunya lagi berwarna dasar putih dengan tulisan Telulikuran Lingkar Maiyah Gresik Damar Kedhaton. Paku menancap ke dinding biru dalam aula, menandai bahwa malam ini, majelis Ilmu Telulikuran akan segera dimulai.
Saya memilih duduk sejenak sambil membuka mushaf, lalu mulai nderes Al-Qur’an Juz 9. Beberapa dulur yang sudah hadir, bercengkerama ngobrol santai. Sementara itu, Cak Arief dan Cak Djalil kembali keluar, mondar-mandir memastikan konsumsi untuk dulur Damar Kedhaton lainnya.
Waktu terus berjalan, satu per satu dulur Damar Kedhaton mulai berdatangan. Ada yang dari Cerme, Balongpanggang, Driyorejo, Menganti, Manyar, hingga Kebomas.

Tepat pukul 22.30 WIB, suasana mulai berubah. Ketika semua dulur sudah hadir dan selesai dengan perbincangan hangat, Kamituwa Wak Syuaib mengambil posisi duduk yang tenang. Ia mulai memandu sesi munajat cinta kepada Allah dan Kanjeng Nabi. Wirid, Tawashshulan, hingga Sholawat Mahalul Qiyam yang kental dengan suasana khidmat dan sakral. Suara-suara itu bergetar dalam aula Pondok Pesantren Nurul Mubin Kubro, gelombang dzikir terdengar; menyatu sebagai frekuensi hati.
Suasana khusyuk nan intim kian terasa. Beberapa dulur tampak terpejam, entah karena kantuk atau larut dalam kekhusyukan dzikir. Ada yang sesekali menyeka mata, menahan haru. Ada pula yang duduk tegak, meresapi setiap lafaz yang dilantunkan secara bersama-sama.
Hingga pukul 00.00 WIB, munajat cinta itu mencapai puncaknya. Sorot mata yang berbinar, air mata yang jatuh perlahan, seolah menjadi saksi betapa kenikmatan batin tak pernah bisa diukur dengan logika.

Malam itu, di tengah gerimis yang mulai mereda dan dinginnya udara di Balongpanggang, ada jiwa-jiwa yang digerakkan, diperjalankan, dituntun, untuk saling dipertemukan dalam gelombang paseduluran Al-Mutahahabbina Fillah.
Setelah munajat cinta melalui Wirid, Sholawat, dan Tawashshulan, para dulur Damar Kedhaton mengambil jeda sejenak. Beberapa mengisi ulang gelas kopi, ada yang berbincang ringan, dan sebagian lainnya merebahkan tubuh di atas karpet. Namun, bukan berarti majelis rutinan itu telah selesai. Justru saat itulah sesi yang paling ditunggu baru saja dimulai: diskusi sinau bareng yang menghidupkan ruh Telulikuran.
Dengan posisi duduk melingkar, suasana berubah menjadi lebih terbuka dan hangat. Kaji Bombom, yang malam itu menugasi dirinya sebagai moderator, mengawali dengan menyapa dulur Damar Kedhaton yang hadir.

Sebelum mempersilakan Gus Alhas, ia meminta saya untuk membacakan prolog sebagai pengantar tema. Satu dua kalimat saya paparkan untuk membangun atmosfer sekaligus memantik ruang diskusi. Bagaimana manusia bisa menuntun diri di tengah dunia yang sering kali justru menyesatkan arah hati nurani?
Gus Alhas, selaku tuan rumah, membuka dengan pemantik yang sederhana tapi sangat mendalam. Ia mengajak merenungi posisi manusia dalam perjalanan hidup di jagad dunia ini, seraya menyambungkan dengan tema besar malam itu: “Menuntun Diri”.
Tema malam itu, “Menuntun Diri,” hadir sebagai ajakan diam-diam untuk menoleh ke dalam, mengulik ruang batin yang sering terabaikan.
Gus Alhas: Nafsu yang Dilatih, Diri yang Ditemukan

Gus Alhas membuka pemaparannya dengan mengaitkan tema “Menuntun Diri” dengan konteks puasa Ramadan. Menurutnya, puasa adalah cara konkret untuk melatih diri menahan hawa nafsu. Menahan lapar bukan semata-mata karena ritual perintah agama, tetapi latihan untuk memahami dan merasakan getirnya perjuangan orang-orang yang “kelaparan”, bukan karena mereka sedang berpuasa, tetapi karena memang susah untuk makan.
Latihan ini, sambung Gus Alhas, melahirkan rasa empati dan jiwa dari dalam diri manusia. Menuntun diri bukan sekadar soal disiplin, tetapi juga menata kepekaan hati. Ia mengaitkan tema ini dengan pembahasan sebelumnya di tempat yang sama, pada 3 November 2023 lalu, yang saat itu mengangkat tema “Cinta yang Sungguh-sungguh.”
Keduanya, menurut Gus Alhas, saling terhubung dan berkesinambungan. Cinta yang benar menuntun manusia menjadi khalifah di bumi, bukan hanya sebagai makhluk konsumtif, tetapi yang mampu mengelola diri dan jagad semesta raya.
Dalam kerangka kosmologi Jawa, Gus Alhas menyampaikan konsep Bumi Alit dan Bumi Agung. Bumi Alit adalah diri sendiri, mikro. Sementara Bumi Agung adalah masyarakat, makro. Menuntun diri berarti menyelaraskan dua bumi ini. Menyelaraskan kehendak pribadi dan tuntutan sosial. Dan yang paling mendasar yakni kembali ke hati nurani. Bagaimana menjadikan hati nurani sebagai kompas, bukan karena hawa nafsu.
Wak Syuaib: Logika dan Ketidaktahuan

Kamituwa Damar Kedhaton, Wak Syuaib, membawa pendekatan secara logis. Baginya, istilah menuntun selalu melibatkan tiga unsur elemen: subjek yang menuntun, alat penuntun, dan objek yang dituntun.
Kadang, ujar Wak Syuaib, objek sulit dituntun bukan karena pembangkangan, tapi karena ketidaktahuan. Maka, yang menuntun adalah yang memiliki. Dalam konteks teologis, yang menuntun adalah Allah—Sang Pemilik diri. Dalam konteks bebrayan sosial antar manusia, bisa jadi orang tua, guru, atau sahabat. Bahkan, agama pun juga dapat dimaknai sebagai alat penuntun.
Namun, dalam realitas hidup, tak selalu mudah dijalani. Kadang alat penuntun tidak efektif, kadang objek tak memahami arah, kadang pula subjeknya justru bukan pihak yang seharusnya menuntun. Maka, refleksi menjadi penting: siapa yang sebenarnya menuntun? Dan ke mana arah tuntunan itu?
Diskusi ini, ujar Wak Syuaib, bukan untuk mencari kesimpulan akhir. Tapi untuk mencari dan memaknai secara bersama-sama. Nggolek’i bareng, agar kita semua tidak sekadar dituntun, tetapi benar-benar paham dan rela mengikuti arah itu.
Cak Imam Arief: Mengulik Gambar, Menggali Makna

Cak Imam Arief membawa tafsir yang berbeda. Ia mengajak dulur Damar Kedhaton membaca tema dari sisi visual, seperti banner Majelis Ilmu Telulikuran yang terpasang pada malam itu. Dalam desain tersebut, tampak sosok bayangan manusia hitam, diikat dua tali besar. Tali itu seolah berasal dari dua tangan besar—simbol yang menuntun.
Menurutnya, visual itu bisa menjadi jembatan tafsir. Tulisan “Nun” dalam kata “Menuntun” pun menjadi pusat simpul dua tali tersebut. Tali itu, bisa jadi, melambangkan petunjuk, aturan, bahkan bentuk dari takdir. Dan manusia, dengan segala kehendak pilihannya berada dalam dinamika: antara dituntun dan atau menuntun dirinya sendiri.
Cak Fauzi: Simulasi Diri, Daulat Peran

Cak Fauzi menyusul, ia menghadirkan simulasi sederhana tapi menggugah dulur Damar Kedhaton yang hadir. Ia bertanya kepada Haikal, putra dari Kaji Bombom, tentang “siapa dirinya.” Pertanyaan itu membuka refleksi yang mendalam kepada seluruh dulur yang hadir, seberapa kenal kita dengan diri sendiri?
Ia lalu mengaitkan dengan tema “Daulat Diri” yang pernah dibahas sebelumnya. Bahwa dalam kehidupan, kita memegang banyak peran: sebagai pribadi, anggota masyarakat, komunitas, dan pekerja. Ia menyodorkan simulasi: ketika menyisir rambut di depan cermin, yang kita rapikan adalah diri kita sendiri. Tapi posisi kita di sana bisa sekaligus sebagai subjek, alat, dan objek. Maka, menuntun diri itu mungkin—tapi rumit.
Cak Djalil: Frekuensi yang Belum Nyambung
Sementara itu, Cak Djalil menyampaikan kegelisahannya. Dalam istilah Jawa, ia menyebut kondisi mberot—ketika objek enggan dituntun. Bisa jadi, karena belum ketemu frekuensinya. Subjek dan objek tidak nyambung. Lalu muncul pertanyaan krusial: siapa sebenarnya subjek yang sah untuk menuntun? Dan bagaimana kita tahu bahwa diri yang kita percayai sebagai penuntun itu bukan sedang menyesatkan kita?
Pertanyaan-pertanyaan ini, alih-alih mengarahkan pada jawaban, justru membuka ruang perenungan lebih dalam. Karena menuntun diri bukan proyek satu malam. Tapi sebuah proses rakaat panjang; untuk mengurai benang kusut antara keinginan, petunjuk, suara hati, dan suara dunia.
Sesi diskusi malam itu tak melulu kaku dan formal. Justru sebaliknya—suasana mencair, penuh dinamika. Saling tanggap antar peserta, lempar-melempar gagasan, dan canda-tawa ringan membuat majelis terasa lebih hidup dan penuh warna-warni.
Diskusi Semakin Mencair
Gus Alhas, yang juga kini mendapat amanah Ketua PC IPNU Gresik, menegaskan pentingnya proses panjang dalam menuntun diri. Ia mengajak dulur Damar Kedhaton yang hadir, melihatnya melalui perspektif tasawuf. Dalam Tarekat, misalnya, proses ini dikenal sebagai laku—serangkaian usaha lahir-batin agar manusia tidak terperosok dalam jebakan nafsu.
“Kalau di Tarekat itu ada laku. Biar tidak terperosok, ya harus melewati proses panjang. Umumnya ada Mursyidnya. Tapi bukan berarti Mursyid itu selalu benar,” jelasnya.
Ia kemudian menjelaskan, dalam bahasa Arab, kata “diri” sering diterjemahkan sebagai nafs, yang dalam bahasa Indonesia berarti “nafsu.” Namun, pengertian diri tidak berhenti pada jasad atau tubuh. Diri adalah kesadaran, sesuatu yang lahir dari dalam, dari hati nurani. Maka, saat membahas “aku yang menuntun aku”, itu adalah dinamika kesadaran: antara subjek dan objek dalam diri manusia itu sendiri.

“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.”
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya,” sebuah hadist yang dikutip Gus Alhas.
Hadits ini, menurut Gus Alhas, mengandung pesan mendalam, bahwa kesadaran tentang diri adalah jembatan menuju kesadaran tentang Allah. Ia kemudian merujuk Surat Al-Fatihah ayat 5–7:
“Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin. Ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh-dhaalliin,” sambungnya.
Doa ini, menurutnya, adalah permintaan manusia kepada Tuhan agar dituntun ke jalan yang lurus. Menuntun diri, berarti terlebih dulu menyadari bahwa kita sedang butuh tuntunan. Dan satu-satunya jalan yang aman adalah ketika kita menjadi hamba yang sadar sedang dituntun oleh Tuhan.
Gagasan Bersambut
Cak Fauzi merespon diskusi tentang kesadaran, dengan sebuah pernyataan tajam:
“Kesadaran itu adalah kumpulan dari endapan pengetahuan. Ia lahir, muncul, dan berangkat dari latar belakang pengalaman, wawasan, dan pengetahuan yang kita lalui selama ini,” paparnya.
Artinya, kesadaran bukan entitas tunggal yang muncul tiba-tiba. Kesadaran adalah akumulasi. Maka, menuntun diri juga berarti menata ulang semua yang sudah masuk ke dalam diri: pengalaman, nilai, pengetahuan, ilmu, dan pelajaran.
Diskusi semakin asyik. Cak Pitro ikut menimpali. Cak Nanang Timur juga turut merespon. Kaji Bombom menambahkan. Hingga Kang Imron, dengan gaya khasnya yang kalem dan tutur kata Krama Inggil halus, menyampaikan pandangan reflektif.
Perdebatan dalam diskusi malam itu tak bersifat menang-kalah. Tidak ada dominasi. Yang ada justru kehangatan. Seolah seluruh dulur yang hadir menjadi jembatan, saling menyeberangkan kesadaran dari satu hati ke hati yang lain.
Penutup
Diskusi malam itu akhirnya dipungkasi oleh Kaji Bombom pukul 02.30 WIB. Ia mengembalikan semua diskusi malam itu ke satu kata kunci: nglakoni. Menuntun diri tak hanya dibicarakan, tetapi dilakoni.
Selepas diskusi, dulur Damar Kedhaton bersiap sahur bersama. Sebagian mempersiapkan logistik, sebagian lain melanjutkan obrolan ringan. Dan sebagaimana tradisi yang tak tertulis, sebelum pulang, semua berkumpul untuk sesi foto bersama.

Febrian Kisworo Aji
JM Damar Kedhaton Gresik, tinggal di Guranganyar – Cerme