
Demokrasi seringkali dipandang sebagai puncak dari peradaban. Di atas panggung politik, ia menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi publik. Namun, di balik semua itu, suara rakyat kerap hanya menjadi simbol semata. Harapan mereka tergadaikan oleh janji-janji yang terkadang sulit diwujudkan, sementara keinginan mereka seringkali terabaikan.
Tak sekadar itu. Di negeri yang mendaku menganut asas demokrasi ini sejak ia berdiri, justru mengalami sejarah pengkhianatan esensi demokrasi bertubi-tubi. Ketika demokrasi mengandaikan kekuasaan di tangan rakyat, maka tak bisa kita pungkiri yang terjadi malah kendali kekuasaan dipegang hanya oleh segelintir tangan, itulah oligarki.
Masih lekat di ingatan, sekian produk regulasi terbit tanpa melalui pelibatan publik yang memadai. Tak ayal, gejala ini akhirnya pun memantik gelombang protes dan aksi demonstrasi. Sejujurnya, apakah peristiwa semacam itu berlangsung secara tidak demokratis? Secara prosedural, dengan meyakinkan kita bisa bilang sesuai dengan prinsip demokrasi. Namun secara esensial, mari kita pertanyakan kembali.
Melalui tiga tulisan Mbah Nun—Saya Anti Demokrasi, Titik Nadir Demokrasi, dan Cacat Demokrasi. Tulisan itu mengajak kita untuk merenung lebih dalam. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi, meski seringkali dipuji, menyimpan tantangan dan kerentanannya sendiri. Ia bukan sekadar menggugat, tetapi lebih pada mengajak kita untuk melihatnya dalam dimensi yang lebih jernih. Mbah Nun memotret demokrasi bukan hanya sebagai sistem, tetapi sebagai praktik yang bisa mengabaikan potensi manusia jika tidak dilihat dengan hati yang jernih.
“Demokrasi adalah sistem yang menghina akal sehat manusia dan mengebiri potensi rakyat.”
– Saya Anti Demokrasi
Kritik ini bukan hanya bicara tentang ketidakpuasan, melainkan juga tentang keprihatinan terhadap bangsa yang seringkali enggan untuk melihat lebih dalam, dan lebih sering terjebak dalam rutinitas yang tampaknya sudah cukup, padahal sejatinya banyak ruang untuk pemahaman yang lebih mendalam dan pemberdayaan yang lebih bermakna.
“Demokrasi di Indonesia telah mencapai titik terendah, di mana rakyat hanya penting saat pemilu, setelah itu dilupakan.”
– Titik Nadir Demokrasi
Ini bukan sekadar kritik terhadap sistem yang ada, tetapi sebuah ajakan untuk membebaskan cara kita berpikir. Mengajak untuk keluar dari dikotomi antara demokrasi dan tirani, untuk meresapi lebih dalam makna keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan sejati. Agar kita tidak terus terjebak pada mekanisme yang seolah-olah menjanjikan segala kebaikan, padahal seringkali terlupakan esensi dari sistem itu sendiri.
“Demokrasi telah menjadi kendaraan busuk, penuh penumpang busuk, menuju tujuan yang busuk pula.”
– Cacat Demokrasi
Namun, apa yang lebih menarik dari pembahasan ini adalah kenyataan bahwa krisis yang kita hadapi tidak hanya pada soal politik semata. Dalam perjalanan hidup berbangsa, kita juga dihadapkan pada krisis dalam keberagamaan, kebudayaan, dan jurnalisme.
Agama, yang seharusnya menjadi sumber kebijaksanaan dan pencerahan, justru terkadang malah diperalat untuk tujuan yang sangat jauh dari esensinya.
Kebudayaan, yang mestinya menjadi ruang kreativitas dan pemaknaan, seringkali kehilangan arah dalam hiruk-pikuk simbol yang teramat dangkal.
Media, yang seharusnya menjadi penyampai kebenaran, seringkali terjebak dalam arus informasi yang membuatnya kehilangan kejernihan.
Pemerintahan yang buruk bukanlah sebuah kecelakaan. Ia adalah konsekuensi dari kecenderungan kita untuk tidak mau merenung, takut menghadapi kompleksitas dan meremehkan kesederhanaan. Dalam ketidaksiapan untuk menghadapi tantangan ini, kebutaan kita rasa-rasanya semakin dalam.
Namun di tengah semua itu, mungkin inilah saat yang diberikan Allah untuk kita merenung, untuk mencari jalan pulang. Mungkin di tengah kegelapan ini kita diberi kesempatan untuk kembali menemukan kewarasan, untuk mendengar panggilan nurani, untuk menghidupkan kembali kemanusiaan yang kadang terabaikan dalam pergolakan politik.
Maka, melalui Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-100 kita bersama membedah tema “Luka Demokrasi” pada :
Hati / tanggal : Senin, 21 April 2025
Pukul 19.23 WIB
Tempat : Kediaman Cak Ghozi
Emerald Residence Blok C1 No 5
Desa. Kedanyang, Kec. Kebomas, Gresik