
Ada yang tumbuh diam-diam dalam perjalanan waktu tujuh tahun ini. Berawal dari sebuah musholla kecil di Dusun Purworejo, Benjeng, Gresik lalu menjelma jadi ruang perjumpaan lintas jarak yang terasa hangat, meski hanya lewat layar. Semalam, dalam kelas daring Maiyah Methods and Maiyah Syllabus, aku kembali disapa oleh pesan lama yang dulu kucatat dan kutandai berul: Ngreksa Wasita Sinandhi. Pesan yang samar, tapi nyata.
Bermula dari titik itu. Pertemuan di Musholla MI Hidayatul Ulum, Dusun Purworejo, Desa Metatu, Kecamatan Benjeng, Gresik pada Maret 2018. Waktu itu, aku untuk pertama kalinya dipertemukan dan diperjalankan untuk uluk salam sebagai tamu. Pintu rumah Damar Kedhaton pun dibuka, dan di ruang tamu itu sudah tersaji beragam makanan dan minuman. Ada forum Wirid Sholawat dan Rembuk Tema (WSnRT) malam itu.
Tujuh tahun sudah berlalu, namun ingatan itu menancap sebagai akar yang kuat dalam benak pikiran dan hati. Tidak semua suguhan aku nikmati, sebab aku mengukur ketetapan dan ketepatan rasa yang dianugerahkan kepadaku dari-Nya. Tapi, aku betul-betul menikmati secuil hidangan yang tersaji dan sengaja aku ambil saat itu.
Sebulan setelah WSnRT, aku mencoba berteduh kembali di rumah itu, setelah berjibaku dengan panas terik dan deras hujan cuaca dunia yang tak menentu. Tepatnya pada Minggu malam, 8 April 2018. Kembali di tempat yang sama: Musholla MI Hidayatul Ulum, Dusun Purworejo, Desa Metatu, Kecamatan Benjeng, Gresik.
Kali ini, dalam forum Majelis Ilmu Telulikuran rutinan Damar Kedhaton. Pada forum ini, Ngreksa Wasita Sinandhi menjadi pintu yang dimasuki. Sebuah pintu yang membuka ruang cakrawala keilmuan tanpa batas. Hanya ketakjuban yang kurasakan saat menikmati hidangan batin yang disajikan saat itu. Selengkapnya bisa dibaca di :https://damarkedhaton.com/2018/05/10/reportase-telulikuran-dk-edisi-18-april-2018-ngreksa-wasita-sinandhi/
Ngreksa Wasita Sinandhi, atau bisa diartikan “menjaga nasihat yang tersamarkan”. Kalau kita peka, Wasita Sinandhi sebenarnya pernah kita alami. Dalam kehidupan, Tuhan sering mengingatkan kita dan memberi petunjuk melalui peristiwa atau pertanda, walaupun terkadang tidak logis. Ia kerap terkandung dalam bimbingan seorang mursyid kepada para santrinya dengan metode yang berbeda-beda. Pesan yang samar, tapi nyata adanya untuk dirasakan.
Tujuh tahun berlalu. Dan semalam, ingatan itu kembali diangkat dalam kesadaranku oleh Mas Jamal Jufree Ahmad, yang ternyata dulu pernah satu almamater SMA di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang—meskipun terpaut jarak tahun yang cukup jauh. Aku tak pernah bertemu Mas J secara tatap muka, begitu juga sebaliknya. Aku yakin, Mas J belum tahu dan belum kenal aku. Tapi, aku mengenalnya lewat banyak sumber tulisan.
Ya, Jumat, 9 Mei 2025, aku bertemu Mas J. Hanya saja, melalui Zoom Meet bersama tiga puluhan orang lainnya, dalam kelas Maiyah Methods and Maiyah Syllabus. Mas J memaparkan banyak hal, mulai dari laku yang berpijak pada kesadaran atas kemampuan dan keluwesan lensa dalam memandang fenomena—zoom in, zoom out.
Berikutnya, ikhtiar kolektif untuk menyadarkan kesadaran dimensi segitiga cinta Al-Mutahahabbina Fillah. Dalam kerangka zoom in, hadir orang-orang lintas kabupaten dan provinsi malam itu. Saat diperlebar dalam kerangka zoom out, Mas J ternyata sedang berada di Chicago, Amerika Serikat.
Tujuh tahun perjalanan itu, dari musholla di Purworejo hingga layar zoom yang tersambung ke Chicago, seperti sebuah pesan yang semula samar kini semakin nyata: bahwa Wasita Sinandhi itu terus berjalan, terus menjaga, dan terus menuntun. Diam-diam, tapi nyata.
Sabtu, 10 Mei 2025
Febrian Kisworo Aji
JM Damar Kedhaton Gresik
yang tinggal di Guranganyar, Cerme.