
Manusia dilahirkan, dirawat, dan dididik untuk menjadi pribadi yang bermanfaat. Kalau boleh bicara secara personal, saya adalah contohnya. Saya adalah manusia yang dilahirkan oleh ibu, dirawat dan dibesarkan oleh ibu dan bapak, lalu dididik oleh keduanya.
Pendidikan formal sejak SD, SMP, SMA, hingga kuliah telah saya jalani. Namun, sebagaimana kehidupan yang terus berjalan, pendidikan non-formal pun ikut membentuk diri ini. Termasuk saat mengaji ba’da maghrib di sebuah surau kecil. Karena itu, saya memiliki banyak guru yang memberi pelajaran penting dalam hidup saya.
Tapi manusia selalu bertumbuh, bukan? Sebagaimana fitrahnya, manusia akan terus berkembang. Fisik berubah bentuk, batin pun ditempa oleh berbagai pengalaman.
Untuk mempersingkat cerita, izinkan saya langsung melompat ke satu fase: fase hidup yang tidak karuan. Fase ketika semuanya terasa terombang-ambing. Banyak pilihan, banyak jalan, tapi semua serasa buntu.
Waktu itu, saya berusia sekitar 20-an. Rasanya hidup tak punya pegangan. Bingung. Tak tahu ke mana harus melangkah. Tak ada satu sosok pun yang mampu menuntun saya dengan terang ke arah depan.
Diajak teman sowan ke para kiai? Sudah sangat sering. Tapi apa yang terjadi? Petuah para kiai hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Entah mengapa bisa begitu. Jujur, nasihat mereka hanya melintas lalu pergi. Tidak meninggalkan krenteg di dalam hati.
Sampai suatu hari, seorang teman memanggil saya. Ia menyodorkan rekaman suara. Awalnya saya kira biasa saja. Tapi setelah saya dengarkan, saya dibuat takjub.
Suara itu mampu menyentuh relung hati paling dalam. Sejuk di telinga. Adem di hati dan pikiran. Uraian tentang kehidupan dalam rekaman itu membuat saya merasa “pulang”.
Ternyata, itu adalah suara Mbah Nun.
Sejak saat itu, saya ingin tahu lebih jauh tentang sosok beliau. Saya mencarinya melalui YouTube, artikel-artikel tulisan, hingga media massa. Dan saya menemukan: inilah sosok yang selama ini saya cari.
Rasanya seperti jatuh cinta. Bukan pada rupa. Bukan pula pada nama besar beliau. Tapi seakan menemukan pancaran “cahaya” yang menyinari hati yang lama redup.
Hari-hari berikutnya saya isi dengan mendengarkan ceramah-ceramah Mbah Nun, juga membaca beberapa bukunya.
Isinya? TOP. Bagi saya, beliau bukan orang sembarangan. Semua terasa relevan, menyejukkan, meneduhkan.
Sampai suatu waktu, ada pengajian beliau di Alun-Alun Gresik, beberapa tahun silam. Saya diperjalankan untuk bisa hadir langsung. Momen yang saya tunggu-tunggu: bisa melihat dan menyimak beliau secara langsung. Saya merinding. Rasanya seperti sudah pernah bertemu beliau dalam waktu yang panjang, intens, meskipun itu adalah momen pertama kali saya melihat beliau secara langsung.
Sejak itu, setiap ada jadwal pengajian beliau di sekitar Gresik, saya selalu berusaha hadir. Rasanya nagih.
Bahkan, saya juga beberapa kali memimpikan beliau. Dan, ada satu mimpi yang begitu membekas. Membuat saya mengambil jeda. Saya berhenti sejenak dari aktivitas membaca buku dan mendengarkan ceramah Simbah. Saya berhenti dari semua hal yang berkaitan dengan Mbah Nun. Satu mimpi itu terasa sangat magis.
Soal mimpi, saya yakin bukan hanya saya yang mengalaminya. Di luar sana mungkin ada ratusan, bahkan ribuan orang yang didatangi beliau lewat mimpi.
Ceritanya begini. Dalam mimpi itu, saya berziarah ke sebuah makam kuno—seperti makam para wali. Saya tidak tahu makam siapa. Tapi saya tidak sendiri. Di sana ada Mbah Nun dan Mas Sabrang. Mereka berdua duduk khusyuk, sementara saya tidak. Saya gelisah, bingung, tak tahu harus bagaimana.
Tiba-tiba datang sosok tinggi besar berjubah. Suaranya menggelegar. Ia menegur saya agar khusyuk dalam berziarah. Saya pun akhirnya larut dalam suasana yang sakral dalam mimpi itu.
Beberapa bulan kemudian, seorang teman mengajak saya berziarah ke beberapa makam wali di tanah Jawa. Puncaknya, ketika saya tiba di makam Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.
Setiba di sana, perasaan saya luruh. Saya seperti “dibawa kembali” ke dalam mimpi itu: berziarah dengan Mbah Nun dan Mas Sabrang. Suasananya, auranya, atmosfer batinnya—semuanya mirip.
Saya menangis sejadi-jadinya.
Saat itu, istri saya tengah mengandung anak pertama kami. Fokus doa saya pun tertuju pada anak-anak dan keturunan saya.
Lalu, takdir menjalankan perannya dengan cara yang indah. Pada 10 Juni 2019, anak pertama kami lahir. Tanggal itu bertepatan dengan tanggal lahirnya Mas Sabrang. Maka saya selipkan nama Panuluh dalam nama lengkapnya.
Tak berhenti di situ. Lima tahun berselang, pada 27 Mei 2024, istri saya kembali melahirkan—anak kedua kami. Dan kali ini, tanggalnya bertepatan dengan tanggal lahir Mbah Nun, 27 Mei.
Saya tidak menyelipkan nama Emha, Ainun, atau Nadjib. Tapi saya letakkan nama Muhammad di awal—sebagaimana nama lengkap beliau: Muhammad Ainun Nadjib.
Saya yakin, semua ini bukan kebetulan. Tuhan juga tidak sedang iseng bermain-main. Pasti ada maksud dan tujuan di balik rentetan kejadian yang saya alami. Ada semacam keterikatan antara saya dengan Mbah Nun. Hubungan batin antara murid dan guru. Antara cucu dan simbah.
Di ujung cerita ini, saya hanya bisa berdoa:
Semoga Tuhan memberikan hal-hal baik dalam kehidupan kita semua. Semoga Mbah Nun lekas pulih dari sakitnya. Diberi kesehatan yang prima. Agar bisa kembali menemani anak-cucu Maiyah yang sangat merindukannya.
SAYA DAN RIBUAN ANAK-CUCU PANJENENGAN, KUWANGEN MBAH. SUMPAH!
Gresik, 31 Mei 2025
Khabib Ulin Nuha
JM Damar Kedhaton, tinggal di Cerme – Gresik