Menulis Tanpa Arah Tunggal
PART 1 (EDISI 9 TAHUN DAMAR KEDHATON GRESIK)

Saya tidak berani mengklaim secara sepihak bahwa tulisan ini adalah bentuk lain dari kebenaran sejati yang datang dari Tuhan. Tulisan ini semata saya landasi dengan ungkapan syukur tiada batas, sekaligus ikhtiar menjaga nilai-nilai Maiyah melalui Damar Kedhaton Gresik. Ini hanyalah pengalaman pribadi—sangat subjektif—dan pasti berbeda dengan persentuhan lahir-batin yang dialami dulur-dulur lain. Karena itu, sejak awal saya wajib menegaskan: tulisan ini tidak layak dibaca. Bukan pula dimaksudkan untuk merendahkan pihak manapun, apalagi mengajak atau berkampanye mencari tambahan anggota di Damar Kedhaton Gresik.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Jika engkau ingin mengenal dunia maka membacalah, dan jika engkau ingin dikenal dunia maka menulislah.” Kalimat pendek, energik, dan sering dijadikan bahan bakar oleh pegiat literasi—atau siapa saja yang dalam krenteg hatinya ingin merawat peradaban.
Senapas dengan spirit wahyu pertama dalam Surat Al-‘Alaq ayat 1-5, tulisan ini saya buat. Tidak ada perencanaan. Ia hadir seketika, bagai kilat dalam sekejap mata. Ada semacam ingatan lama—saya menyebutnya ngreksa wasita sinandhi. Dorongan itu muncul setelah saya membaca tuntas ulasan reflektif nan mendalam tentang Perang Panjang oleh Kiai Tohar.
“Bahwa perjuangan menuju kebenaran adalah perang panjang, bukan lomba lari 100 meter. Ia seperti ngaji kitab kuning: tidak selesai dalam satu malam. Kadang ngantuk-ngantukan, diselingi guyon santri dan derit kursi bambu. Tapi justru di situlah kesabaran, “enduren”, diuji, dan ditempa. Kesetiaan kita bukan pada hasil instan—seperti janji manis politisi di baliho pinggir jalan—melainkan pada proses”[i].
Sejak saat itu, muncul dorongan kuat untuk menulis. Sudah banyak bekal urip yang saya dapat dari gelombang Maiyah. Bukan untuk menyombongkan diri, melainkan dalam rangka tahadduts binni’mah. Sekaligus pijakan untuk tajdiidun niat: setiap saat, setiap detik, sepanjang waktu.
Karena itu, tulisan ini tidak punya arah tunggal. Ia bercabang, berkelok, kadang menanjak, kadang menurun. Melebar, meluas, mendalam, lalu tiba-tiba mengerucut. Ia hanyalah ikhtiar merawat ingatan. Catatan perjalanan pribadi saya—jika dilihat dalam kaca mata zoom in—dari Damar Kedhaton, untuk Damar Kedhaton, kepada Damar Kedhaton, dan oleh Damar Kedhaton.
Maka sangat mungkin dalam tulisan ini saya akan menyebut beberapa nama—nama yang pernah, akan, dan selalu hadir dalam kesadaran belajar meneguhkan diri sebagai JPS. Khalidina fiha abada. Kita ini sejatinya hidup abadi. Mati hanyalah transformasi. “Karenanya, kalau kita bikin rumah, atau melakukan apapun, apalah artinya jika bukan untuk selamanya,” dhawuh Mbah Nun.
“Sangat perlu diteguhkan keyakinan dan perjuangan untuk memastikan bahwa penduduk Maiyah tidak mengalami kesulitan rizki dan penghidupan, terutama kalau itu disebabkan oleh kekeliruannya sendiri dalam memilih usahanya dan memperjuangkan pekerjaannya. Tidak tepat dalam memilih tempatnya dan menentukan batas fungsinya.” Seperti bekal sangu berupa tulisan yang telah diberikan Mbah Nun kepada kita semua. Bahwa, setiap manusia adalah Pengusaha, dan orang Maiyah adalah Jam’iyah Pengusaha Sorga (JPS). Beliau juga merekomendasikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pintu masuk ke dalam pembenahan urusan tersebut (106: 3, 4) ; (61: 10, 13) ; (2: 218, 254) ; (8: 74).
Menjelang pukul 05.00 WIB, saya masih duduk di hadapan layar laptop, mengetik kalimat demi kalimat. Laptop yang selama ini punya banyak fungsi: merapikan pekerjaan, sekaligus memberdayakan saya agar tidak malas di tengah serba kemudahan teknologi masa kini. Terima kasih atas laptop pinjamannya, J Cellular. Al-Fatihah wajib saya haturkan kepada Cak Gogon.
Pukul 05.23 WIB, laptop ini saya tutup. Tulisan ini akan terus berjalan. Mohon doa.
Biarlah setiap kata mengalir bagai embun pagi yang menetes di daun, di tengah lingsir wengi yang sunyi. Padhang mBulan menatap diri dengan tenang, bagas kewarasan makin matang, a(bang)-a(bang) teko (wetan) menyebarkan sinar, menuntun jiwa dari dhulumat menuju an-nuur. DeKa langit jingga menyalurkan energi hangat yang menumbuhkan senyum bunga di kedalaman hati. Tak pernah aku menyesali perjalanan yang kulewati tuk memahami kata hati yang menuntunku tanpa henti. Karena rasa dan senyuman itu; segenap cinta aku terima, seolah serpihan surga hadir terasa sebening senja. Menandai refleksi dan syukur dalam menyambut Milad ke-9 Damar Kedhaton Gresik.
Bersambung…
Febrian Kisworo Aji
JM Damar Kedhaton tinggal di Guranganyar, Cerme
—————————————————————————————
[i] Perang Panjang, caknun.com, diakses 26 September 2025, https://www.caknun.com/2025/perang-panjang/