
Dalam kehidupan yang serba cepat ini, kita sering merasa telah meminum air pengetahuan, padahal mungkin hanya meneguk ilmunya tanpa betul-betul menafsirkan makna-maknanya yang tersirat.
Mbah Nun, dalam tulisan La Yanfa’, mengingatkan kita semua bahwa, bahkan Mataair yang dicurahkan dari langit pun bisa menjadi ‘ilmun la yanfa’ alias ilmu yang tidak bermanfaat.
Maiyah, dengan segala keindahan dan kedalaman rasanya, tidak otomatis memberi manfaat bagi siapa pun yang datang kepadanya. Airnya hanya menghidupi hamba-hamba yang benar-benar dihidayahi, yang merawat aliran cinta karena Allah, bukan karena golongan, status, atau kepentingan duniawi.
Namun, di tengah perjalanan rakaat panjang, Allah menguji. Sebagian mungkin tergelincir menjadikan Maiyah sekadar menjadi kesegaran sesaat: yang hanya dinikmati di tenggorokan hidup pribadi, tapi tidak menetes pada kehidupan sosial di sekitar.
Di sinilah ujian kesadaran diri dimulai, ketika ilmu yang sejatinya menghidupkan, berisiko membeku menjadi ritual tanpa arah. Itulah tanda bahwa air mataair mulai kehilangan daya mengalirnya, maknanya, spiritnya, dan substansinya.
Tulisan kedua, Ruang Salamina Aminin, memperluas kesadaran itu. Mbah Nun menegaskan, di setiap ruang Maiyah, di gerbangnya tertulis: “Udkhuluha bisalamin aminin.” Artinya, masuklah dengan sejahtera dan aman. Tapi, tidak semua yang memasukinya membawa kesejahteraan; ada yang membawa bahan-bahan dari dalam ruang, lalu dijadikan sebagai alat untuk membuat kerusakan di luar.
Tulisan ini seumpama pengingat diri dan teguran keras, bahwa ruang spiritual pun bisa berubah menjadi medan fasad (kerusakan/kebobrokan, dsb), bila yang hadir tidak memelihara adab, niat, dan keseimbangan hatinya.
Sudahkah ruang-ruang kebersamaan kita akan tetap menjadi Salamin Aminin? Ataukah perlahan-lahan kita mulai membiarkan rongga kecil di dalam diri yang memberi tempat bagi kesombongan, ketidaktulusan, atau keinginan menonjolkan diri? Apakah kita, yang mendaku sebagai anak putune Simbah masih mengalirkan air mataair itu untuk memberi kehidupan, atau sekadar meminumnya agar diri sendiri tidak haus? Atau bahkan demi mencari keuntungan dan kepentingan diri sendiri?
Damar Kedhaton, seperti halnya setiap simpul Maiyah lainnya, bukanlah wadah yang selesai dengan dirinya sendiri. Ia adalah proses, yang senantiasa meneguhkan spirit belajar sepanjang hayat. Selalu mengajak kepada setiap orang untuk iqra’ secara terus-menerus; membaca diri, membaca sesama, membaca tanda-tanda zaman.
Barangkali, bahan tulisan ini menyadarkan betapa pentingnya kita berkumpul dalam majelis ini untuk setia pada proses meneguhkan diri berulang kali. Bukan untuk mencari siapa yang paling benar, tetapi bagaimana menjaga ghirrah kolektif, saling mengingatkan dan merangkul. Agar air ilmu dan cinta yang mengalir dari mataair itu tetap menjadi nafi’. Yang memberi manfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan bumi tempat kita berpijak.
Maka, mari kita bersihkan gelas pikiran dan hati kita masing-masing untuk kembali menimba mataair Maiyah dengan tema “Ilmun La Yanfa” dalam Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-107, pada:
Hari/Tgl : Kamis, 13 November 2025
Pukul : 20.23 WIB
Lokasi : Kediaman Wak Syuaib, Desa Iker-Iker Geger, Kec. Cerme, Gresik