Serpihan Surga di Sisi Pena

Serpihan Surga di Sisi Pena

PART 2 (EDISI 9 TAHUN DAMAR KEDHATON)

 

“Ngreksa Wasita Sinandhi”[1] adalah tema yang menjadi pintu pertama saya masuk ke dalam rumah bernama Damar Kedhaton. Sependek, sedangkal, sesempit, dan seciut pemaknaan saya terhadap tema itu: menjaga nasihat yang samar. Kalimat itu selalu saya kaitkan dengan apa yang sering diingatkan Mbah Nun, bahwa hidup ini tidak selalu seperti yang kita inginkan. Maka, dengan kesadaran La Ghaliba Illa Billah, La Quwwata Illa Billahmlaku thimik-thimik—dalam konsep keluhuran Jawa, saya berupaya terus menggali dan memaknai sepanjang detik waktu berjalan.

Kesadaran itu kembali saya rasakan ketika Kamis, 3 Oktober 2025 dini hari, saya berjibaku dengan keindahan kalam Tuhan melalui tulisan yang diulas oleh Saratri Wilonoyudho dalam esai “Metode Penelitian” Itu Bernama Surat An-Nur 35[i]. Membaca esai itu menegaskan bahwa menulis bukan sekadar aktivitas, tetapi juga cara menjaga wasiat samar yang dititipkan lewat ayat-ayat-Nya.

1Foto bersama usai Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-18

Dari sana saya teringat hal lain: rasa bersalah karena beberapa kali edisi Majelis Ilmu Telulikuran, saya tidak menulis catatan prolog maupun reportase. Ah, sebetulnya ini hanya perasaan saya saja. Toh, ada atau tidaknya prolog sebetulnya tidak wajib. Tapi, tetap saja rasanya berbeda. Hambar. Seperti ngudud rokok tanpa rasa—persis yang saya alami saat isolasi mandiri setelah ayah divonis covid dan memilih dirawat di rumah, lantaran ditolak beberapa rumah sakit di Surabaya pada Juni 2021.

Tulisan ini jelas berangkat dari perspektif subjektif. Tidak bisa dijadikan tolok ukur bagi orang lain dalam mensyukuri nikmat yang terhampar begitu luas tak terkira. Maka, bagi saya, menulis adalah cara paling personal untuk menjaga kewarasan dan ungkapan syukur.

Dalam istilah khas ala Maiyahan, saya merasa “diperjalankan dan dipertemukan.” Dua istilah yang selalu saya kaitkan dengan semesta Damar Kedhaton. Bagi saya, Damar Kedhaton adalah rumah yang teduh meneduhkan. Dari sana saya banyak belajar, hingga membuat semakin optimis untuk mengakrabi sekaligus mengakherati hidup di dunia ini dalam rangka menempuh perjuangan rakaat panjang menuju-Nya.

Namun jauh sebelum itu, benih-benih aktivitas kecenderungan menulis pada diri saya justru tumbuh di Njoso. Sejak lama saya sudah terbiasa mencatat ketika ngaji Kitab Kuning—aktivitas sederhana yang entah mengapa begitu saya sukai. Ada pula cerita konyol yang membuat saya akhirnya memilih jalan berbeda. Waktu itu saya rela keluar dari Madrasah Tafaqquh Fiddin—ngaji diniyah malam hari di Pondok Induk. Saya memang tidak tahan dengan hafalan. Sulit sekali menghafal, bahkan sering ditakzir—hukuman yang akrab di telinga arek pondok’an.

Saya masih ingat betul: ketika mendapat tugas menghafal tashrifan Nahwu Shorof, saya sengaja tidak menghafalkan. Nekat. Konsekuensinya jelas: ditakzir duduk-berdiri seratus kali, bahkan jalan jongkok mengelilingi aula. Kurang lebih satu jam. Waktu itu otot kaki saya rasanya makin kekar. Keputusan ini tentu tidak sederhana, tapi saya sadar, itu konsekuensi yang harus saya tanggung. Sejak saat itu saya memutuskan berhenti ikut Madrasah Diniyah, lalu kembali menekuni aktivitas mencatat—dalam ngaji kitab kuning di ndalem.

Saya memilih ikut ngaji di ndalem pada waktu yang sama, pukul 20.00–22.00 WIB. Ritualnya begitu saya hafal: menuruni tangga dari kamar lantai dua asrama Ardales (Arek Ndalem Selatan), berjalan bertelanjang kaki di cor-coran samping ndalem, mencari tempat di ruang tamu Buya Kiai Cholil Dahlan. Duduk bersama bapak-bapak kampung yang sebagian sudah tua renta. Kitab di tangan kiri, bolpoin di tangan kanan, catatan terselip di tengah kitab.

Sambil menahan kantuk mata, tak jarang kepala juga ndoyong ke bawah alias teklak-tekluk. Sementara tangan saya berusaha tetap mencatat. Dalam momen seperti itu, muncul semacam penyesalan dan rasa tidak punya malu di hadapan beliau. Coba bayangkan, seorang guru dengan mencurahkan seluruh energi dan semangatnya membaca kitab berbahasa Arab, lalu menerjemahkannya ke dalam Bahasa Jawa. Setelah itu, beliau memperjelas maknanya dengan menyajikan contoh-contoh sederhana dari kehidupan sehari-sehari agar lebih mudah diterima oleh akal pikiran.

Namun wajah Kiai Cholil saat itu terasa selalu meneduhkan. Penjelasannya pun sederhana, mudah dipahami, mudah diikuti irama tangan dalam memaknai kitab kuning dengan tulisan pego. Dari sanalah lahir catatan demi catatan kecil—hingga saat ini masih saya simpan rapi.

Ritme itu ternyata berlanjut ketika saya dipertemukan dengan Damar Kedhaton Gresik. Di sini saya makin intens belajar menulis yang bukan sekadar benar, tapi juga agar bisa dimengerti pembaca. Bagaimana agar maksudnya jelas, tujuannya tersampaikan, dan tidak berbelit dalam pemilihan kosa kata.

Untuk itu saya merasa perlu mewajibkan diri berterima kasih pada Mbak Wiwit (Kediri) dan Cak Fauzi (Cerme, Gresik). Bertahun-tahun tulisan saya masuk dalam pengamatan mereka, dibabat habis-habisan, dikupas detail: mana yang salah, mana yang kurang tepat, mana yang tak perlu ditulis. Hingga akhirnya saya “dilepas” total. Meski begitu, bagi saya tulisan tetap wajib masuk meja redaksi mereka—sekalipun belakangan ini hanya koreksi minor. Hanya seputar ejaan, typo, atau huruf yang hilang. Dari merekalah saya belajar bahwa tulisan harus ditempa berkali-kali sebelum benar-benar matang dan disajikan.

Biarlah setiap kata mengalir bagai embun pagi yang menetes di daun, di tengah lingsir wengi yang sunyi. Padhang mBulan menatap diri dengan tenang, bagas kewarasan makin matang, a(bang)-a(bang) teko (wetan) menyebarkan sinar, menuntun jiwa dari dhulumat menuju an-nuur. DeKa langit jingga menyalurkan energi hangat yang menumbuhkan senyum bunga di kedalaman hati. Tak pernah aku menyesali perjalanan yang kulewati tuk memahami kata hati yang menuntunku tanpa henti. Karena rasa dan senyuman itu; segenap cinta aku terima, seolah serpihan surga  hadir terasa  sebening senja. Menandai refleksi dan syukur dalam menyambut Milad ke-9 Damar Kedhaton Gresik.
Bersambung…

 

Febrian Kisworo Aji

JM Damar Kedhaton tinggal di Guranganyar, Cerme

—————————————————————————————

[1] Prolog Telulikuran DK Edisi ke-18 April 2018 “Ngreksa Wasita Sinandhi”, damarkedhaton.com, diakses 3 Oktober 2025, https://damarkedhaton.com/2018/04/04/prolog-telulikuran-dk-edisi-18-april-2018-ngreksa-wasita-sinandhi/

[i] “Metode Penelitian” Itu Bernama Surat An Nur 35, caknun.com, diakses 3 Oktober 2025, https://www.caknun.com/2013/metode-penelitian-itu-bernama-surat-an-nur-35/