- Puisi Tuhan dan Rumah Keabadian
PART 3 (EDISI 9 TAHUN DAMAR KEDHATON GRESIK)

Tulisan ini merupakan bentuk ngugemi apa yang pernah disampaikan Abah Hamim Ahmad, dalam pertemuan kedua saya di ndalem beliau, Desa Campurejo, Kecamatan Panceng, Gresik. Abah Hamim Ahmad adalah salah satu sahabat Mbah Nun saat di Jerman. Keperluan saya saat itu dalam rangka menyelesaikan tugas akhir S1, dengan Damar Kedhaton sebagai objek. Judul yang saya pakai adalah “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Jamaah pada Komunitas Maiyah Damar Kedhaton Gresik”.
Dalam pertemuan itu, kami berbincang banyak hal. Termasuk soal motivasi di balik ghirrah dulur-dulur Damar Kedhaton Gresik untuk terus belajar istiqomah menempuh rutinan yang telah disepakati. Ada satu poin yang masih teringat jelas oleh saya hingga detik ini dalam sebuah pertemuan yang sudah empat tahun berlalu, tepatnya pada 24 Juni 2021.
“Usut punya usut, entah ini sebuah pertanda apa bagi diriku. Belum sempat aku mempertanyakan mengenai dunia literasi,” demikian catatan di akun Instagram pribadi saat itu.
Eh ndilalah, justru Abah Hamim yang mengawalinya, “Nek pengen dadi sastrawan, aja jupuk jurusan (kuliah-red) Sastra, tapi jupuk’a jurusan filsafat. Penulis biyen iku selalu nggawa buku catatan cilik, nangdi-nangdi digawa terus. Ana ide sing muncul seketika, langsung dicatat meskipun mung sak baris. Bahkan aku lan Cak Nun pas biyen nang Jerman yo nglakoni kuwi. Yen kabotan mikir nggolek ide, ditinggal turu dhisik. Pas tangi langsung nyatet apa sing terlintas ndhuk pikiran. Jarang turu, jarang mangan. Mangkane kuru-kuru.”
Kalimat yang disampaikan oleh beliau itu rasanya seperti membangunkan sesuatu yang lain, yang berada dari dalam diri saya. Bahwa, menulis bukan semata perkara tentang aktivitas memproduksi pengetahuan. Ia seumpama latihan untuk mendisiplinkan diri dalam laku spiritual yang melibatkan aktivitas iqra’ sepanjang hidup.
Demikian narasi yang saya buat saat itu, dengan latar belakang foto diri sedang menyimak penuturan demi penuturan dari beliau. Obrolan itu seperti pintu pembuka yang mengantar saya memasuki ruang batin yang lebih luas. Dari situ, perjalanan saya pun merambat: ke skripsi, ke ruang-ruang ujian, hingga ke pengalaman kehilangan yang sama sekali tak pernah saya duga sebelumya. Dan pada akhirnya, Damar Kedhaton hadir sebagai simpul utama dari semua kisah yang saya alami itu.
Lagi-lagi, rasa syukur wajib saya sampaikan sepenuh hati, jiwa, pikiran, dan kesadaran. Dalam proses penyusunan skripsi, penggalian data, ujian sempro (seminar proposal), hingga sidang akhir, boleh saya sebut semuanya berjalan mulus dan lancar. Kalau tidak percaya, sampeyan bisa mertamu dan ngopi di rumah Cak Fauzi. Betapa banyak sekali peranan beliau—membimbing, mendukung, mengkritik habis-habisan dengan cara yang logis dan mudah dipahami. Cak Fauzi punya andil besar dalam penyusunan skripsi saya hingga tuntas—bukan jadi joki loh ya, melainkan terus mengamati sekaligus tahu betul secara faktual bagaimana proses saya di dalam penyusunan skripsi tersebut.
Saya masih ingat betul momen ketika sempro waktu itu. Bu Imas, dosen penguji saya, bilang begini, “Kalau memang mau lanjut pakai judul ini, saran saya gunakan penelitian mix method. Kalau tidak mau, harus ganti judul.” kata beliau lewat Zoom. Memang saat itu masih dalam momen pandemi Covid-19, sehingga ujian sempro yang saya tempuh via daring.
Namun, semua itu mendadak berubah. Saya masih bisa mengingat detik-detik pada saat itu. Pikiran saya pecah. Meledak. Rasanya hampa. Waktu seolah-olah berhenti. Ketika saya betul-betul serius ingin menuntaskan skripsi, sebulan berikutnya Ayah berpulang, tepat pada 2 Juli 2021.
“Tak ada puisi. Tak ada doa. Tak ada kata. Tak ada apapun. Suwung. Hanya tumpahan air mata yang sanggup berbicara; bebunyian tanpa suara. Selamat jalan. Selamat berpulang menuju keabadian. Ternyata, jawaban dari kontemplasiku di cuitan X/Twitter 7 jam yang lalu (sebelum Ayah berpulang-red), mengabaikan skripsiku untuk sementara waktu; menikmati puisi secara utuh. Puisi Tuhan adalah keberpulangan menuju-Nya. Menyatu, nyawiji, sangkan paraning dumadi. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Ayah. Sampai nanti, sampai mati. Di ruang rindu kita bertemu untuk menambal lubang di hati. Al-Fatihah.”
Begitulah caption yang saya tulis untuk menampung seluruh kehampaan yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa apa pun.
Telah berpulang dalam dekapan kasih sayang-Nya
pada Jum’at, 2 Juli 2021
Bpk. Mochammad Reman
(Ayah dari Febrian Kisworo – JM Damar Kedhaton)
Fatihah kita haturkan, mengiringi keberpulangan almarhum dalam kelapangan.
Semoga keluarga dilimpahi kesabaran.
Demikian flyer yang dibuat oleh dulur-dulur Damar Kedhaton Gresik. Tak kuasa menahan air mata yang menetes perlahan ketika saya mengetik tulisan ini; ingatan saya langsung terbang jauh ke masa lalu. Berulang kali saya membaca kalimat itu seraya berdoa tanpa kata dan bahasa. Sekali lagi, matur sembah nuwun. Sungguh, tidak ada hal di dunia ini yang bisa saya berikan untuk Damar Kedhaton, kecuali doa dan rasa terima kasih yang tak habis-habis. Di saat momen “kehilangan” yang paling mendalam, rumah ini–Damar Kedhaton—menjadi pelengkap dari kepingan lubang dalam hati yang retak. Dari situlah saya kembali belajar menemukan diri, menulis lagi, membaca lagi, dan menata kembali makna hidup dan mati.
Satu per satu momen itu saya abadikan di akun media sosial pribadi. Ayah terbaring di kasur tua yang sudah berumur lebih dari 25 tahun, foto di dalam mobil ambulans saat menemani ayah menuju RS Wates Husada, dan foto terakhir, gundukan tanah basah yang baru saja dirapikan.
Damar Kedhaton juga layak saya sebut sebagai puisi. Sebuah rumah yang vibrasi gelombangnya sangat kuat terasa hingga ke dada. Spirit ruhnya menyentuh sisi-sisi lain pada diri saya yang tak sanggup diwakili kata. Persis seperti perasaan saya ketika Ayah dipanggil pulang ke rumah keabadian. Suwung. “Puisi Tuhan,” demikian saya menyebutnya. Dari situ saya belajar bahwa kehilangan pun adalah bentuk lain dari kasih sayang Tuhan yang nyata. Bahwa, suwung tidak sepenuhnya dapat diartikan kosong. Suwung adalah ruang hening, sunyi, senyap; “tempat” Tuhan bersemayam.
Di rumah ini—Damar Kedhaton—bagi saya, adalah buku yang tak pernah tuntas untuk dibaca sebelum saya dipanggil kembali ke “Rumah Tuhan” kelak nanti. Rumah yang mengajari saya banyak hal: membaca itu tidak cukup hanya dengan mata, telinga, hidung, mulut, atau kulit; menulis tidak cukup hanya dengan pena atau perantara laptop; belajar tidak selalu dari buku-buku cetakan kertas. Terkadang, rasa kehilangan justru menjadi buku paling jujur yang wajib dimaknai, diselami, ditafsirkan, ditadabburi, dan direnungi secara jangkep.
Damar Kedhaton bagi saya adalah rumah yang merangkul segala getir dan segenap syukur dalam satu tarikan-helaan napas panjang. Maka, setiap kali saya menulis, rasa-rasanya saya seperti sedang pulang. Pulang ke dalam keluasan dan kedalaman ruang suwung yang teduh meneduhkan. Seketika saya jadi teringat tulisan puisi yang saya buat di Puncak Gunung Lawu, lima tahun lalu, 21 Agustus 2020: “Maka Lewat Tulisan Aku Bertuhan”[1].
Biarlah setiap kata mengalir bagai embun pagi yang menetes di daun, di tengah lingsir wengi yang sunyi. Padhang mBulan menatap diri dengan tenang, bagas kewarasan makin matang, a(bang)-a(bang) teko (wetan) menyebarkan sinar, menuntun jiwa dari dhulumat menuju an-nuur. DeKa langit jingga menyalurkan energi hangat yang menumbuhkan senyum bunga di kedalaman hati. Tak pernah aku menyesali perjalanan yang kulewati tuk memahami kata hati yang menuntunku tanpa henti. Karena rasa dan senyuman itu; segenap cinta aku terima, seolah serpihan surga hadir terasa sebening senja. Menandai refleksi dan syukur dalam menyambut Milad ke-9 Damar Kedhaton Gresik.
Bersambung…
Febrian Kisworo Aji
JM Damar Kedhaton tinggal di Guranganyar, Cerme
————————————————————————–
[1] Lewat Tulisan Aku BerTuhan, Metafor.id, diakses 11 November 2025, https://metafor.id/metafor/puisi/lewat-tulisan-aku-bertuhan/