Biarkan Tulisan Ini Menemui Takdirnya Sendiri
PART 4 (EDISI 9 TAHUN DAMAR KEDHATON GRESIK)

1. Diskusi bareng Lingkar Maiyah UINSA “TULISAN (Tuangkan Lisan Jadi Kenangan)”, Rabu 19 Desember 2018 di gedung baru sebelah Fakultas Syariah Hukum (FSH). (dok. @lingkarmaiyahuinsa)
Rasa syukur tak pernah bosan saya jadikan sebagai pijakan awal untuk menulis secuil catatan ini. Semalam, Jum’at, 3 Oktober 2025, banyak percikan kebijaksanaan yang bisasnip saya petik dalam lingkaran paseduluran Al-Mutahabbina Fillah Damar Kedhaton. Frekuensi kesadaran untuk sinau bareng sepanjang hayat menarik jiwa saya; merasuk ke dalam atmosfer yang membahagiakan sekaligus menenangkan hati.
Bermula dari ngopi santai di sebuah bangunan eks-kawedanan, tepatnya di tikungan Kecamatan Cerme. Bersama beberapa dulur Damar Kedhaton, di sana dibahas evaluasi gerak langkah DAMPRO; sebuah ijtihad sekaligus ikhtiar untuk berdaya dan saling memberdayakan dulur-dulur dengan arah yang produktif.
Dalam kurun waktu yang tidak sebentar, Mbah Nun pernah mengulas ketahanan pangan dan ekonomi Maiyah. Sinau yang mengkolaborasikan kreativitas serta keterampilan itu kemudian dirupakan menjadi langkah konkret—padat, terukur, sekaligus membumi. Harapannya, dari situ dapat lahir kemandirian yang pantul-memantul manfaatnya, hingga berbuah ketahanan yang mampu mengampu segala hajat bermaiyah.
Semua itu berasas semangat saling aman-mengamankan, bertumpu pada komitmen kebermanfaatan yang produktif, baik secara vertikal maupun horizontal. Dari situlah DK (Damar Kedhaton)—JMDK (Jannatul Maiyah Damar Kedhaton) menata langkah. Apabila dana perlahan mulai terhimpun, manifestasi langkah konkret itu disiratkan dalam dua skema:
- Raka’at Awal: membantu wirausaha perseorangan JMDK dengan mekanisme pinjaman sesuai akad yang ditentukan.
- Raka’at Panjang: bekal bagi DK untuk merintis wirausaha yang dikelola bersama, dengan laba penuh kembali untuk DK.
Spirit ini memang tidak seberapa. Tak ada tujuan muluk, juga tidak ada target jangka pendek yang grusa-grusu. Semua gerak laku diupayakan agar proporsional dan seimbang. Setiap eksekusi tidak dilihat hanya dari satu kacamata subjektif perorangan, melainkan diupayakan agar selaras dengan irama gelombang yang dikehendaki Tuhan.
Memang, ini mungkin terdengar seperti “bahasa langit”, seolah menempatkan diri sebagai makhluk yang sok-sokan dekat dengan Tuhan. Keterbatasan bahasa dan kalimat tentu berpeluang melahirkan banyak bias pemaknaan. Namun, sesungguhnya ini hanyalah ikhtiar kecil untuk mewarisi nilai-nilai dan lautan ilmu yang telah Simbah bekali kepada kita semua.
Berkesadaran untuk setia pada proses menanam, merawat, menyirami, dan memangkas hal-hal yang sudah semestinya dipangkas. Urusan panen? Biarlah Tuhan yang menentukan dan menuntaskannya. Maka, semoga kelak, jika jatah usia saya di dunia telah usai, minimal secuil catatan ini dapat dijadikan sebagai bahan sinau bareng yang tak mengenal batas waktu.
Sangat sayang jika tidak diabadikan, apalagi di tengah era algoritma media sosial digital yang hanya berpatok pada ukuran payu atau tidak, viral atau tidak. Justru substansi kandungan makna sering terabaikan: sekali viral, tak lama kemudian dilupakan.
Berikutnya berlangsung rutinan tawashshulan di kediaman Kamituwa Damar Kedhaton, Wak Syuaib. Malam itu saya datang terlambat karena masih perlu melanjutkan laporan pembukuan J Cellular. Sambil berjibaku dengan semesta kata-kata, saya menumpahkan lubernya pikiran dalam secuil catatan. Termasuk menikmati drama dan krisis yang dialami Manchester United—belakangan selalu menelan hasil kekalahan—hingga mencuat isu pemecatan manajer Ruben Amorim. Salah satu nama eks maestro lini tengah disebut-sebut bisa jadi “Arteta Baru” untuk Manchester United, yakni Cesc Fabregas.
Mempersingkat waktu, mata saya masih terjaga sejak selesainya rutinan tawashshulan hingga pukul 08.00 WIB, Sabtu, 4 Oktober 2025, saat saya menuliskan bagian part ini di sebuah warung kopi di pertigaan Boboh, Kecamatan Menganti. Usai mengantar Ibu ke Sememi, Benowo, Surabaya; saya memang beberapa kali mampir kopag alia kopi pagi di sana. Kadang bertemu dengan Cak Makhrus yang juga nongkrong bersama teman kerjanya.
Pagi itu, setelah memesan kopi tanpa gula, saya memilih duduk di bangku paling belakang. Dari situ saya kemudian membuka website caknun.com. Ada satu hal yang langsung mencuri perhatian saya: istilah Secuil Catatan Otoetnografi Pejalan Maiyah. Bagi saya, kata otoetnografi sungguh sangat menarik, dan masih asing di telinga saya. Apa itu? Setelah saya telusuri beberapa definisi dari beragam referensi, kurang lebih poin padatannya begini:
1.Secuil Catatan
Menandakan tulisan atau refleksi ini hanya berupa potongan kecil, bukan keseluruhan pengalaman. Sifatnya seperti fragmen, serpihan, atau cuplikan pendek dari perjalanan yang teramat panjang.
2.Otoetnografi
Metode penulisan atau penelitian yang menggabungkan pengalaman pribadi dengan analisis budaya atau sosial (etnografi). Artinya, penulis memakai dirinya sendiri sebagai “bahan” untuk membaca realitas yang lebih luas.
Secuil catatan yang ditulis Mas Ahmad Karim—Secuil Catatan Otoetnografi Pejalan Maiyah[1]—itu seketika membuat saya ge-er. Jangan-jangan tulisan saya ini juga bisa masuk dalam kategori itu. Biarlah, saya pikir, biarkan tulisan ini menemui takdirnya sendiri.
Dari rangkuman singkat yang saya baca, ada beberapa irisan yang sama persis. Salah satunya, penulis—akrab disapa Mas Karim—melibatkan diri secara langsung di komunitas tertentu. Dalam kerangka berpikir, metode, dan konsep etnografi, metode ini biasanya meliputi:
- Pengalaman Langsung (ini juga saya alami)
- Catatan Harian (saya juga menulis apa yang saya alami, saya rasakan, saya lihat, dan saya dengar)
- Rekaman Video (selain diri saya yang kerap mengambil video, termasuk yang diambil spontan oleh dulur DK saat rutinan)
- Fotografi (saya juga beberapa kali memotret momen-momen sakral agar tidak terlewat begitu saja)
- Analisis Artefak (melalui handphone, buku catatan, atau tulisan-tulisan di website).
Secara umum, artefak dapat dipahami sebagai barang masa lalu. Namun, jika kita melihat dari perspektif waktu, semua benda hari ini pada akhirnya juga akan menjadi masa lalu. Dengan begitu, handphone, catatan rekam jejak digital, atau perangkat lainnya yang saya gunakan saat ini kelak bisa disebut sebagai artefak pula.
Tulisan Mas Karim saya akui memang sangat berbobot, bernilai, dan isinya super-duper ndaging. Wajar, sebab beliau punya latar belakang sebagai peneliti. Jamaah Maiyah asal Wonosobo ini adalah pegawai BAPPENAS, kini menempuh studi doktoral bidang Antropologi dengan fokus Citizen Security serta New Social and Religious Movement di Universitas van Amsterdam—demikian biografi singkatnya yang tertulis di caknun.com.
Membaca tulisan-tulisan Mas Karim, saya tiba-tiba teringat masa kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya. Ingatan membawa saya kembali ke momen ketika bisa duduk melingkar bersama Mas Karim dalam majelis ilmu, di bangunan yang kala itu belum jadi—yang kini telah berdiri megah sebagai Perpustakaan Kampus.

Momen itu adalah diskusi Lingkar Maiyah UINSA edisi ke-7 dengan tema “TULISAN”, akronim dari Tuangkan Lisan Jadi Kenangan. Allah… apakah ini kebetulan, kebenaran, atau pertanda apa? Wasita sinandhi apa lagi yang sedang disingkapkan?

2Diskusi bareng Lingkar Maiyah UINSA “TULISAN (Tuangkan Lisan Jadi Kenangan)”, Rabu 19 Desember 2018 di gedung baru sebelah Fakultas Syariah Hukum (FSH). (dok. @lingkarmaiyahuinsa)
Hari itu, Rabu, 19 Desember 2018, Mas Ahmad Karim duduk melingkar bersama kami—beberapa mahasiswa UINSA lintas jurusan dan angkatan. Saya lupa detail pembahasan pada malam hari itu, namun momen tersebut tetap berharga sebagai ingatan reflektif bagi saya pribadi. Tema yang sederhana ternyata menyimpan kandungan makna yang mendalam, dan bisa diwariskan nilai-nilai spiritnya hingga saat ini.
Di forum itu juga hadir Cak Fauzi, yang langsung berangkat dari kantor tempatnya bekerja dekat Tugu Pahlawan menuju UINSA. Sayangnya, ikhtiar saya dalam mencatat diskusi bareng kala itu, entah ke mana keberadaanya.
Biarlah setiap kata mengalir bagai embun pagi yang menetes di daun, di tengah lingsir wengi yang sunyi. Padhang mBulan menatap diri dengan tenang, bagas kewarasan makin matang, a(bang)-a(bang) teko (wetan) menyebarkan sinar, menuntun jiwa dari dhulumat menuju an-nuur. DeKa langit jingga menyalurkan energi hangat yang menumbuhkan senyum bunga di kedalaman hati. Tak pernah aku menyesali perjalanan yang kulewati tuk memahami kata hati yang menuntunku tanpa henti. Karena rasa dan senyuman itu; segenap cinta aku terima, seolah serpihan surga hadir terasa sebening senja. Menandai refleksi dan syukur dalam menyambut Milad ke-9 Damar Kedhaton Gresik.
Bersambung…
Febrian Kisworo Aji
JM Damar Kedhaton tinggal di Guranganyar, Cerme
[1] Artikel di caknun.com, diakses 12 November 2025