Tak Sekadar perlu Dibaca, Tapi Ditemani

Sumber : https://share.google/images/PF8rQWUaPAwIV2iME

Empat kolom telah ditulis Febrian. Empat letupan sunyi yang dilempar ke tengah keramaian. Tidak semua orang mendengar. Tidak semua yang mendengar bisa menangkap. Dan tidak semua yang menangkap tahu harus diapakan. Bahkan Febrian sendiri sudah bilang dari awal; “Tulisan ini tidak layak dibaca.”. Dan benar saja, ia tidak sedang bercanda.

Kalau Sampeyan membaca tulisan pertamanya (Menulis Tanpa Arah Tunggal), saya menduga Sampeyan akan tiba pada kesimpulan: kalimat demi kalimat disusun tanpa urutan. Tidak ada premis yang dijaga, tidak ada argumen yang dituntaskan. Tapi ada satu hal yang jelas terasa: ia sedang mencoba menuliskan sesuatu yang belum sanggup ia ucapkan.

Di bagian dua (Serpihan Surga di Sisi Pena), kita hampir dibuat percaya bahwa arah mulai terbentuk. Tapi semakin masuk, teks justru mengabur. Penyebutan nama-nama, kutipan puitik, dan permenungan spiritual dibenturkan tanpa jembatan. Ada bagian yang nyaris seperti doa, lalu dilanjutkan dengan introspeksi diri, lalu tiba-tiba menghilang ke gelisah batin yang tak sempat disampaikan tuntas.

Lalu bagian tiga ; Puisi Tuhan dan Rumah Keabadian. Ini bagian paling halus sekaligus paling menggantung. Halus karena terasa jujur, menggantung karena tak pernah membiarkan satu tema ditutup. Semuanya terbuka. Semuanya belum selesai. Sampeyan seperti sedang masuk ke ruangan remang, dipenuhi asap dupa yang wangi tapi pekat. Rasanya syahdu, tapi setiap langkah memancing rasa ragu: ini jalan atau jebakan?

Dan akhirnya kita tiba pada bagian empat: Biarkan Tulisan Ini Menemui Takdirnya Sendiri. Judulnya seperti janji bahwa tulisan ini tak akan tunduk pada apapun—termasuk logika struktur. Febrian tidak membuka paragraf dengan rencana. Bahkan tak merasa perlu menyambung satu ide dengan lainnya. Usai bicara soal pemaknaan atas ikhtiar gerak Dampro, tiba-tiba ia menyisipkan analisis soal krisis Manchester United. Ya, bola. Di tengah pembicaraan tentang jalan ruhani, mendadak muncul nama Ruben Amorim dan spekulasi soal Fabregas jadi “Arteta Baru”. Tak cukup di situ, tanpa aba-aba Febrian lalu mengetengahkan wacana ihwal otoetnografi tanpa jembatan gagasan yang memadai.

Dan dari situ pembaca paham: tulisan ini memang memilih untuk melompat, bukan berjalan.
Tak ada jembatan. Hanya loncatan. Paragraf demi paragraf terasa seperti pintu-pintu yang dibuka bersamaan, tanpa tahu apakah itu menuju ruang meditasi, ruang tamu, atau ruang ganti pemain. Bagi sebagian pembaca, boleh jadi ini memikat. Buat lainnya, ini bisa bikin kepala pening.

Sebagai pembaca, saya bisa saja menuntut. Tapi saya memilih tidak. Karena Febrian menulis tidak sedang cari perhatian. Ia sedang cari pegangan. Toh sudah sama-sama dimaklumi, tradisi yang berdenyut di arena diskusi maiyahan, (termasuk di Damar Kedhaton) tak melulu menjanjikan jawaban, tapi justru memelihara kegelisahan. Dan di situ, saya tahu : Febrian bukan sedang bikin karya. Ia sedang menaruh nyawanya di halaman.

Saya juga membaca dengan pelan pada bagian ketika nama saya disebut. Sebuah penyebutan yang semacam bayangan yang sesekali lewat. Di situ, saya menangkap pesan bahwa Febrian seperti sedang meletakkan harap agar saya mau menoleh. Ia ingin disaksikan, bukan dinilai. Maka saya datang bukan membawa kritik belaka. Tapi menemani guncangannya sampai reda.

Namun, membiarkan tulisan tetap liar, bukanlah tanpa risiko. Pembaca bisa hilang arah, bisa tersingkir di tengah. Dan saya percaya Febrian paham betul soal itu.

Ia sedang berusaha menepati janji. Ia bilang ingin menulis sembilan esai untuk merayakan sembilan tahun Damar Kedhaton. Dan itu bukan janji ringan. Di tengah rutinitas, kadang letih, kadang cemas, ia tetap duduk mengetik, meski pagi hampir datang.

Saya tidak akan memuji seri tulisan secara berlebihan. Karena Febrian tidak butuh itu. Tapi saya ingin mengajak Sampeyan untuk terus menaruh rasa penasaran. Karena hanya rasa penasaran yang membuat kita bertahan membaca tulisan-tulisan yang belum selesai. Dan karena rasa penasaran itu pula, kita bisa tetap menunggu, meski tahu tulisan selanjutnya belum tentu menjawab apa-apa.

Dan siapa tahu, dari sembilan seri tulisan yang akan lahir nanti, kita menemukan satu dua yang menjadi cermin, atau hanya sekadar pengingat bahwa kita pernah berjalan bersama. Tak harus sepemikiran. Tak harus sepaham.

Maka saya ingin bilang :

“Terusna, Feb! Karena menulis memang bukan untuk menyenangkan semua orang. Tapi untuk menjaga nyala kecil di dalam hati agar tidak padam. Ente sudah menyalakan empat. Lima lagi menanti. Kami tak sekadar membaca, tapi menjaga dan menemani”

 

Ahmad Irham Fauzi

JM Damar Kedhaton tinggal di Cerme.