Prolog Telulikuran DK Edisi #7 – Mei 2017 “Nulung Nganggo Katresnan”

Arus besar materialisme seolah tak terbendung menjangkiti segenap sepak terjang manusia. Ia selayaknya wabah yang hinggap di tiap seluk-beluk nadi kehidupan. Spirit yang hanya jangka pendek, pamrih atas hal-hal remeh, motivasi yang cekeremes kerap kita jumpai di keseharian. Nilai-nilai yang sejati, makin sulit dicari wujudnya. Kepalsuan, kefanaan, kesementaraan, kian karib tampak wajahnya.

Menolong adalah perbuatan mulia, baik di mata manusia maupun di Mata Allah. Namun, dengan kelicinannya, materialisme menyusup pula ke dalam hati para pemberi pertolongan. Kita yang pada umumnya terlanjur mengira bahwa materialisme bersemayam pada kecintaan terhadap benda-benda atau sesuatu yang bersifat ‘hardware’, menjadi begitu mudah terkecoh oleh jenis materialisme yang bersembunyi di balik hal-hal yang bersifat ‘software’. Siapa yang menyangka di balik sebuah pertolongan yang begitu tulus di permukaan, tersembunyi tujuan materialistis. Membagi-bagikan uang atau makanan pokok pada kaum marjinal secara kasat mata memang perbuatan baik. Tetapi bagaimana jika motifnya supaya terpilih menjadi pemimpin atau wakil rakyat? Daripada terkecoh oleh orang lain, lebih sering lagi kita terkecoh oleh materialisme yang menyusup dalam hati kita sendiri. Berapa kali kita salah duga, menyangka bahwa kita menolong seseorang demi kebaikan orang tersebut, tetapi sesungguhnya terselip keinginan untuk disebut sebagai ‘orang baik’? Buktinya, ketika orang yang kita tolong tidak merespon sesuai dengan harapan, atau malah cuek saja, kita jadi ‘nggerundel’ diam-diam.

Kondisi yang lebih ironis adalah ketika upaya menolong justru sebatas topeng belaka. Di sebaliknya, terkandung niat busuk “penolong” untuk menganiaya si pihak “tertolong”. Kearifan Jawa menyediakan idiom Nulung Menthung untuk merekam gelagat macam ini.

Adapula gejala yang berbeda. Yakni ketika si penolong justru tertuduh sebagai pelaku aniaya, setelah ia mendermakan pertolongan. Godaan yang tak ringan memang, bagi si penolong untuk bersabar mengelola situasi macam ini. Dan sudah barang tentu, pahala besar berlipat menantinya di ujung pintu ujian.

Teramat banyak motif / pamrih yang seringnya tidak disadari saat kita menolong. Ingin dianggap sebagai orang baik, sungkan jika tidak menolong, bahkan ingin diberi ucapan terima kasih adalah pamrih-pamrih yang seharusnya kita enyahkan jauh-jauh dari hati kita. Tapi itu semua adalah proses pambelajaran, terutama untuk diri kita sendiri. Mungkin saat ini kita masih “kerasukan” pamrih-pamrih halus, namun seiring berjalannya waktu, kita disadarkan bahwa niat utama kita untuk menolong adalah untuk menolong itu sendiri. Tapi, memang sesederhana itukah rumusan jalannya ?

Lantas, bagaimana dengan Cinta ?
Di mana letaknya ketika aku menolongmu?
Di koordinat sebelah mana ia saat engkau membantuku ?
Spektrumnya yang luas, sejauh mana ia menjangkau dan memayungi dialektika proses ketika aku, kamu, dia, mereka, kita, saling setor derma ?

Mari melingkar, mencari bersama, memunguti nilai Nulung nganggo Katresnan di telulikuran edisi ketujuh, pada :

Jumat, 19 Mei 2017.
Pukul 20:00 WIB – Selesai.
Di kediaman Kang Dahlan.
Ds. Banyutengah RT. 01 RW. 01, Kec. Panceng, Kab. Gresik.