Prolog Telulikuran DK Edisi #9 – Juli 2017 “Lebar-Lebur-Luber-Labur”

Sebagai bentuk ikhtiar kontinyuasi Telulikuran edisi sebelumnya yang mengangkat tema “Pasane Remeh, Riyayane Rame”, maka pada edisi ke-9 ini JMDK akan bareng-bareng sinau tema “Lebar-Lebur-Luber-Labur“. Sebuah bakal elaborasi yang dirasa sinkron dan indah mengingat bulan Syawal ini telah dilakukan upaya penggalian untuk mendapatkan makna Lebaran yang lebih meluas sekaligus mendalam. Usaha pembedahan total akan makna Idul Fitri demi mencari titik akurasi nan presisi menjadi penting,  agar terhindar dari sikap jumud dalam mengartikan Idul Fitri, dan hanya berhenti di permukaan belaka.⁠⁠⁠

Arus besar modernisasi, yang tak lain adalah piranti materialisme, menggiring umat sedemikian rupa untuk terjebak mandeg jangkauannya hanya pada wilayah “benda” semata.  Pemaknaan atas momentum Idul Fitri pun terekspresikan sebatas pada simbol-simbol wadag. Umat disibukkan dengan model busana yang up to date. Merk dan aroma baju baru menjadi begitu penting. Ronce-ronce penampilan ditampakkan demi peneguhan identitas dan strata sosial. Toko-toko perhiasan menjadi simpul kerumunan. Mudik pun menjadi ajang pengumuman pada tetangga dan handai taulan, “Hai, aku kini berada di puncak kesuksesan”.⁠⁠⁠⁠

Seiring perkembangan kecanggihan teknologi informasi, kini tradisi silaturahmi dan saling memaafkan pun menemukan wajah barunya. Tak perlu lagi merasakan lelah menempuh perjalanan demi menghaturkan permohonan maaf. Cukup sedikit usaha memilah-milih sebaris ucapan selamat Lebaran yang telah tersedia dalam gawai digital di genggaman. Tekan tombol kirim, maka selesailah urusan. Sesungguhnya jalan kaki dan atau naik turun kendaraan ke beberapa lokasi tujuan, menjumpai secara jasadi satu per satu kawan lama, sungguh menguras energi dan tentu saja, biaya. Tarekat berlebaran model begitu tentu ketinggalan jaman dan melanggar asas efektifitas dan efisiensi.

Demikian kira-kira muatan yang terlesak masuk ke dalam pikiran. Sejauh mana dan sekuat apa diri ini membangun pertahanan? Ada baiknya jika kita coba menengok warisan leluhur. Barangkali di sana kita dapat menemukan nilai-nilai kearifan hidup demi menyegarkan kembali peradaban modern yang tengah meranggas. Salah satu nilai kearifan leluhur terekam baik dalam ketupat, sebuah sajian khas Lebaran. Orang Jawa biasa menyebutnya “kupat“. Rupanya, “kupat” ini adalah kerata basa (akronim) dari “Laku Papat“. Maknanya, ada empat perilaku yang hendak dididikkan oleh para sepuh melalui media ketupat, yakni : lebar, lebur, luber, dan labur.

Dulur, apa dan bagaimana tafsir serta tadabbur-mu atas “laku papat” tersebut? Mari melingkar dan bersama menggali, berbagi, seraya saling menyulam pengertian di Telulikuran Damar Kedhaton Edisi ke- 9 pada :

Minggu, 16 Juli 2017
Pukul 20:23 WIB
Pendopo Kecamatan Cerme
Jl. Cerme Kidul No. 65A, Cerme, Gresik.