CORONA DAN MASA DEPAN WABAH DUNIA

CORONA DAN MASA DEPAN WABAH DUNIA

Mohammad Shofie

virus-corona-covid-19.jpg Evolusi berhasil mengajarkan kepada manusia bagaimana cara membakar kayu dan berburu, bercocok tanam, beternak, meramu obat-obatan, serta menciptakan antibiotik dan vaksin, namun evolusi ‘gagal’ menunjukkan kepada manusia jalan menghindari kematian. Evolusi sendiri, pada bagian paling dalam, digerakkan oleh naluri primitif organisme untuk “bertahan hidup” (survive); maka wajar jika secara psikologis manusia merasa takut mati―justru aneh kalau ada manusia yang takut menjalani hidup. Naluri ini membuat keseharian psikologis manusia cenderung kepada aktivitas-aktivitas yang ‘menjauh’kannya dari bayangbayang kematian: makan dan bersenang-senang, shopping, bermain sosmed dan youtube, olahraga, travelling, dlsb. Tak ada (sedikit sekali) manusia ataupun kelompok manusia yang betah berlama-lama berada dalam kondisi psikologis “dekat” dengan bayangan kematian.

Hari-hari terakhir ini, bayang-bayang kematian itu sedang seliweran di segenap penjuru Bumi, memaksa para pemimpin pemerintahan dan negara di dunia “membatasi” lalu lintas gerak warganya. Virus corona menjadi headline media cetak, televisi, dan media online di seluruh dunia sejak 100 hari terakhir―24 jam dalam seminggu―memenuhi ruang-ruang publik, jalanan di perkotaan dan gang sempit di kampungkampung, pasar dan mall, dan di setiap sudut rumah. Di tengah pandemi dan krisis hari ini, naluri “bertahan hidup” manusia ‘diadu’ face-to-face dengan “The shadow of death”, dua ‘rival’ lama yang muncul berbarengan sejak evolusi dimulai di muka Bumi. Sebagian orang memilih menjalani hidup dengan cara “mengabaikan” sama sekali bayang-bayang corona: beraktivitas seperti biasa tanpa masker dan social distancing seperti tak terjadi apa-apa; ini terjadi hampir di semua negara di dunia pada masa-masa awal outbreak Covid-19 di Wuhan. Sebagian lagi memilih “berkompromi”―pada level yang berbeda-beda―dengan corona: masih berkumpul dengan teman, nongkrong di warkop, kerja ke kantor, berjualan, sholat jamaah di masjid, tapi sambil memakai masker dan menjaga jarak aman; sebagian lagi yang lain memilih stay at home dan tidak keluar rumah kecuali untuk urusan penting dan mendesak. Mayoritas pemerintah di setiap negara dunia tampaknya mengambil keputusan “kompromi”, mereka memilih antara opsi lockdown parsial (pembatasan sosial skala besar – PSBB) atau lockdown nasional. Pemerintah Indonesia sendiri tidak memilih opsi lockdown nasional, melainkan PSBB, dengan pertimbangan menjaga kestabilan ekonomi serta menghindari risiko kerusuhan sosial. Pemerintah memilih berkompromi dengan Covid-19 meskipun level komprominya masih di bawah standar―dilihat dari lambatnya respon pengadaan kit rapid test maupun pelaksanaan tes covid massal yang seharusnya dilakukan serentak dan kontinyu.

“Bertahan hidup” bagi manusia abad 21 mempunyai definisi yang khas dengan cakupan jauh lebih luas daripada pengertian “bertahan hidup” bagi manusia purba. Hari ini kita bertahan hidup tidak cukup dengan sekedar makan minum, istirahat, dan kawin; melampaui itu, kita menghendaki suatu kepuasan indrawi dan psikologis secara intens yang bersumber dari aneka kuliner lezat, kasur spring bed, penampilan klemis dan fashionable, gadget dan internet, rumah tinggal yang nyaman (syarat minimalnya harus ada kasur, AC, kulkas, tivi), pekerjaan tetap dengan jenjang karir menjanjikan, aset dan deposito di bank, pendidikan formal, kendaraan pribadi, shopping di mall, jalan-jalan ke luar negeri, dlsb. Masyarakat abad 21, termasuk saya di dalamnya, telah mengembangkan suatu standar hidup kolektif yang, disengaja atau tidak, mendorongnya kepada maksimalisasi “consumption for pleasure”―hidup untuk berbelanja dan berlebih-lebihan. Standar hidup ini mulai tumbuh dan dianut secara luas oleh masyarakat modern seiring dengan berkembangnya kapitalisme global dan ekonomi pasar bebas dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Hampir semua lapisan masyarakat dunia tak bisa lepas sepenuhnya dari jaringan sistem ekonomi ini di mana barang dan modal dipertukarkan melintasi ruang-waktu. Buruh tani, nelayan, petani sawit, pengrajin kayu, pedagang di pasar, pemilik warkop, karyawan pabrik, semuanya tergantung pada jaringan supply and demand ekonomi global. Di sebuah acara wawancara di salah satu televisi swasta, seorang ibu rumah tangga mengatakan “ke luar rumah saya bisa mati (karena terinfeksi covid) tinggal di rumah juga mati (kelaparan), lebih baik saya pilih mati di luar rumah (berjualan) demi membiayai anak-anak dan keluarga”. Ini menjadi contoh ekstrem bahwa dampak ekonomi akibat corona tidak main-main, di mana naluri bertahan hidup individu (seorang ibu) harus dikesampingkan demi mempertahankan keberlangsungan hidup anak turunnya: economic threat-triggered altruism―pengorbanan hidup akibat tekanan ekonomi. Pada akhirnya, pandemi corona menyodorkan sebuah pilihan dilematis kepada pemerintah negara-negara dunia: full lockdown untuk memperlambat laju penyebaran virus serendah mungkin (demi mengurangi tingkat infeksi sekaligus korban meninggal) dengan risiko kemerosotan ekonomi serta ketidakstabilan sosial, atau lockdown parsial/PSBB demi mempertahankan produktivitas ekonomi serta menjaga kondisi sosial sestabil mungkin tetapi dengan risiko penyebaran virus lebih sulit dikendalikan. Tentu saja kondisi di lapangan tak sesederhana itu, karena tepat tidaknya atau baik tidaknya setiap pilihan sangat dipengaruhi oleh kesiapan pemerintah, jumlah dan kualitas fasilitas kesehatan maupun tenaga medisnya, serta kondisi ekonomi dan sosiokultural masyarakat di setiap wilayah atau negara.

 Keseluruhan gambaran di atas sebenarnya memperlihatkan bahwa cara-cara hidup kita hari ini sangat rentan terhadap gangguan, selain disebabkan sistem ekonomi yang serba bergantung pada jejaring supply demand global, juga karena standar hidup modern yang menyimpang dari prinsip-prinsip hidup berkelanjutan. Perlahan-perlahan sistem ekonomi global telah mencabut jati diri manusia dari akar kehidupan organik pedesaan yang mandiri (self sustaining) dan berkecukupan menuju kehidupan mesin perkotaan yang serba ketergantungan dan kekurangan. Barangkali, hanya suku pedalaman atau masyarakat di pelosok desa di lereng gunung atau dataran pantai―yang mereka bertani atau menangkap ikan secara mandiri dan hidup dalam komunitas lokal―yang nyaris tidak terdampak pandemi corona. Di sisi lain, Covid-19 menyingkap wajah nisbi teknologi abad 21 khususnya di bidang kedokteran dan biologi modern. Dunia kedokteran modern boleh saja mengklaim bahwa teknologi saat ini telah mampu ‘menembus’ dan mengendalikan dunia virus lewat cara-cara yang sebelumnya tak pernah terbayangkan sama sekali: melihat wujud fisik virus menggunakan mikroskop elektron, mempelajari dan memvisualisasikan struktur serta fungsi dari masing-masing bagian virus, melakukan analisis biokimia dan molekuler sampai level protein dan gen, serta memproduksi vaksin dalam skala industri. Tetapi, semua pencapaian extraordinary itu tiba-tiba kehilangan signifikansinya ketika harus dihadapkan pada update data jumlah pasien yang terinfeksi dan mati akibat SARS-CoV-2, di mana angkanya terus bertambah setiap menit jauh melampaui daya tampung rumah sakit serta ketersediaan ventilator. Per hari ini, 26 April 2020, SARS-CoV-2 telah menginfeksi 2.9 juta manusia dan total korban meninggal mencapai 203,000 orang. Dari sudut pandang virus corona, teknologi buatan manusia abad 21 terlihat seperti anak kecil baru belajar berjalan yang beradu lari cepat dengan seorang atlit sprinter (virus corona adalah sprinter itu). Gambaran ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan teknologi manusia―sangat jelas teknologi telah memberikan kontribusi positif luar biasa besar dalam sejarah kehidupan manusia―melainkan reminder bagi para pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dan lembaga-lembaga internasional selaku pembuat kebijakan serta perusahaan-perusahaan bioteknologi dan farmasi raksasa selaku mitra bisnis pemerintah dalam melaksanakan tata kelola kesehatan dunia.

Solusi-solusi teknis yang selama ini dipakai dalam menyelesaikan persoalan wabah/epidemi masih didominasi oleh pendekatan reduksionis (fragmented), menitik beratkan hanya pada satu disiplin keilmuan, dan kebanyakan berorientasi jangka pendek, yang mana solusi semacam itu terbukti kurang (tidak) efektif. Hanya bertumpu pada kedokteran modern dan industri farmasi (vaksin, obat anti virus, antibiotik) dalam upaya mengatasi wabah/epidemi jangka panjang, itu sama saja seperti meminta seorang kepala desa untuk mengatur dan mengurus sendirian semua persoalan yang ada di suatu kabupaten. Vaksin Covid-19 tampaknya akan segera dipasarkan secara luas dalam waktu dekat dan mungkin efektif untuk menghentikan penyebaran SARS-CoV-2, tetapi, pertanyaannya adalah apakah di masa-masa mendatang kita masih akan terus menggantungkan keamanan dunia dari ancaman outbreak virus baru (hanya) kepada ujung jarum suntik dan kumpulan pil? Mungkin banyak dari kita yang berpikir bahwa kasus covid ini akan ‘beres’ dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, sama seperti pandemi-pandemi sebelumnya (ebola, HIV, SARS, MERS, flu burung, flu babi, dlsb). Tetapi, sedikit dari kita yang menyadari bahwa kata ‘beres’ tadi sesungguhnya sangat jauh dari “beres” (selesai), bahkan mungkin tak akan pernah beres. Kenapa? Singkatnya, evolusi tidak mengizinkan kehidupan tanpa virus. Kelompok virus RNA, termasuk SARS-CoV-2, bermutasi secara konstan sebagai mekanisme adaptasi terhadap kondisi lingkungan di mana mereka hidup; kelompok virus ini juga tidak memiliki mekanisme internal untuk memperbaiki kesalahan mutasi gen, sebagaimana yang bisa dilakukan oleh sel-sel tubuh manusia. Meski faktanya mutasi gen pada virus tak selalu berarti virus akan menjadi lebih survive―karena ada kalanya mutasi gen tidak bermanfaat bagi virus yang pada akhirnya menyebabkan virus itu sendiri tereliminasi oleh seleksi alam―tetapi, mengingat frekuensi mutasi gen pada virus RNA yang sangat tinggi, hal ini cukup sebagai alasan untuk menyatakan bahwa melenyapkan virus adalah pekerjaan yang (nyaris) mustahil; apa yang kita bisa lakukan hanyalah sebatas menekan risiko outbreak semaksimal mungkin. Dalam kasus Covid-19, vaksin maupun obat anti virus yang nantinya dipasarkan hanya akan bekerja efektif untuk SARS-CoV-2, tapi tidak (kurang efektif) untuk virus corona jenis lain (strain baru) yang sangat mungkin akan muncul di masa mendatang. Kata “vaksin” sendiri sebetulnya banyak orang yang belum menyadari bahwa ia harus diletakkan dalam konteks ekonomi-politik global, jika ingin melihatnya secara lebih utuh. Sebagai gambaran, saat ini tak kurang dari 37 perusahaan farmasi dunia tengah berlomba-lomba memproduksi sekian jenis vaksin dan obat anti virus (antiviral drugs) untuk Covid-19 di mana nilai kapitalisasi pasarnya mencapai ratusan miliar dollar. Artinya, selain memiliki fungsi medis/biologis, vaksin juga adalah komoditas pasar. Proses produksi vaksin yang biasanya memakan waktu lima hingga tujuh tahun, kali ini―dengan kolaborasi riset skala global dan sokongan dana dari perusahaan farmasi dunia maupun pemerintah―dapat dimampatkan hanya menjadi 12 bulan, bahkan mungkin saja lebih pendek dari itu, untuk membuat vaksin covid. Ketika sains, yang konon katanya “bebas nilai”, bertemu dengan bisnis yang sarat kepentingan di suatu arena pasar bebas, maka saya pribadi agak cemas jika sekuritas manusia di masa-masa mendatang harus digantungkan semata-mata hanya kepada vaksin dan obat-obatan farmasi. Jika seperti itu, pelan tapi pasti kesehatan manusia hanya akan menjadi komoditi pasar di mana dunia kesehatan modern melihat orang-orang yang sakit tidak lebih dari sekedar customer.

Maka, mencegah dan menekan risiko outbreak virus di masa mendatang jelas tidak cukup hanya dengan bertumpu pada vaksin dan obat-obatan anti virus, lagi pula tidak semua virus bisa dengan mudah dibuat vaksinnya, seperti pada kasus HIV yang bahkan sampai hari ini para ilmuwan belum berhasil membuat vaksin HIV. Jika virus diumpamakan seperti nyamuk, maka pendekatan tunggal ala imuno-farmakologis dalam mengatasi wabah/epidemi (menggunakan vaksin dan/atau obat-obatan anti virus atau kombinasinya dengan antibiotik) akan mirip seperti mencegah atau membunuh nyamuk menggunakan obat nyamuk bakar atau aerosol transfluthrin; memang cukup efektif mengusir atau membunuh nyamuk, tetapi apa yang tidak terlihat mata adalah trakea dan paru-paru kita setiap malam dipenuhi oleh asap obat nyamuk atau residu dari aerosol. Dengan sudut pandang ini, dan juga lesson learned dari pandemi flu burung, SARS, MERS, dan flu babi, sebaiknya negara mulai mempertimbangkan suatu pendekatan baru yang bersifat sistemik (holistik) dan berorientasi jangka panjang dalam mengendalikan faktor risiko serta mengatasi outbreak berikutnya. Salah satu aspek penting dari pendekatan holistik adalah keharusan melihat konteks yang melatarbelakangi munculnya suatu wabah. Sebagai contoh, studi WHO telah mengonfirmasi bahwa virus HIV menyebar cepat dalam suatu populasi masyarakat di mana angka kemiskinan di dalamnya tinggi; dalam hal ini kemiskinan (poverty) menjadi konteks sosial bagi penyebaran HIV/AIDS. Konteks apa saja yang terlibat dalam outbreak dan penyebaran Covid-19? Sangat kompleks dan melibatkan banyak irisan-irisan sosial ekonomi skala lokal hingga global: perdagangan hewan liar lintas negara, sirkulasi manusia dan pertukaran virus di pasar hewan, urbanisasi dan kepadatan populasi di kota, lalu lintas dunia dan tujuan pariwisata, perekonomian lokal dan kecenderungan sosial-budaya, politik dagang internasional, industri farmasi global, dlsb. Tidak heran jika kemudian setiap negara harus berusaha ekstra keras dan mengeluarkan biaya sangat mahal untuk mengatasi serta mengakomodasi berbagai dampak akibat Covid-19. Mengingat penyebaran covid yang melibatkan banyak sekali konteks, maka ke depannya pemerintah perlu mempunyai sebuah strategi epidemi nasional berbasis holisme: “Mengusir nyamuk dengan cara mandi rutin, membersihkan rumah, menguras bak mandi secara teratur dan menutup lubang-lubang genangan air, membuat penerangan yang cukup, serta menanam lavender, rosemary, serai wangi, atau kemangi”. Jika selama ini dari waktu ke waktu pemerintah hanya berfokus pada pembiayaan-pembiayaan kerja kesehatan konvensional serta impor vaksin, antibiotik, dan obat-obatan, kini waktunya bagi pemerintah untuk mendekati isu kesehatan nasional, terutama dalam kaitannya dengan ancaman outbreaks, dari perspektif multidisipliner, seperti kesehatan dan gizi masyarakat, pertanian dan livestock, ekologi dan sanitasi, tata ruang kota, sosiologi dan kependudukan, ekonomi kerakyatan, dlsb. Tentu saja jer basuki mawa beya, setiap perubahan besar pasti membutuhkan biaya dan pengorbanan yang juga besar.

Mohammad Shofie

Jamaah Maiyah Damar Kedhaton (JMDK), Tinggal Di Cerme, Gresik.