Reportase Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Edisi #42 – Agustus 2020 “Wahan wa Qorun”

Selama hampir lima bulan lebih berpuasa tanpa pertemuan, rindu akan kegembiraan dalam sinau bareng kian menggerutu. Akhirnya pada 12 Agustus 2020, dulur-dulur Damar Kedhaton dapat kembali menjalani rutinan bulanan Telulikuran yang sempat terjeda karena pandemi Covid-19. Oleh para dulur Damar Kedhaton, situasi pandemi dijadikan bahan untuk meningkatkan kewaspadaan diri dan juga toleransi sosial, di mana hampir kebanyakan orang “dipaksa” menjalani segala aktivitas di rumah saja sehingga kegiatan ekonomi masyarakat ikut tersendat.

 “Wahan wa Qorun” diusung sebagai tema sinau bareng kali ini. Sesungguhnya, tema tersebut telah disepakati untuk dikaji pada bulan Maret lalu. Sayang, pembahasannya tertunda akibat pandemi. Kendati demikian, spirit untuk terus saling belajar tanpa henti tetap bergairah, ditandai dengan kehadiran dulur-dulur dari beberapa penjuru daerah di Gresik, bahkan ada yang dari Lamongan, Surabaya, dan juga Mojokerto. Kurang lebih ada 50-an dulur yang berbesar hati, meluangkan waktu dan juga energi untuk hadir dalam momentum kali ini.

Penghaturan Wirid dan Shalawat

Kompleks Pesarean Mbah Joyo menjadi saksi bisu kemesraan pada malam hari itu. Berlokasi di ujung Dsn. Pacuh, Ds. Pacuh, Kec. Balongpanggang, dikelilingi ladang persawahan, udara sejuk berbalut angin segar menemani sinau bareng dulur-dulur Damar Kedhaton. Dalam suasana syahdu, rindu pun tuntas sudah.

 Seperti pada edisi-edisiTelulikuran sebelumnya, deresan Al-Qur’an Juz 12 mengawali acara. Kali ini, dibaca tuntas oleh Cak Imam Arif seorang diri. Kemudian, dipandu oleh Cak Anam, wirid sholawat terlantun dengan khidmat. Seluruh jamaah pun larut tenggelam menikmatinya. Tim Banjari Remas Pacuh mengiringi tatkala Sholawat Mahalul Qiyam dikumandangkan. Tabuhan tangan menari-nari, menemani bunyi-bunyi indah sholawat kepada Kanjeng Nabi. Semoga segala hal-hal pelik mampu kita peluk-nikmati dengan kelegaan hati berkat syafaat Kanjeng Nabi.

Susana Khas Maiyahan, Serius namun Mesra, Wajah-wajah Jamaah saat Elaborasi Tema

Diskusi pun dimulai, Cak Anam membaca prolog. Selanjutnya Cak Teguh, sebagai moderator, mempersilakan jamaah urun rembuk terkait tema. Beragam perspektif dibincangkan, baik yang ada sangkut pautnya dengan tema maupun yang tidak. Diskusi mengalir, meluas, terkadang juga memadat. Tak ada kewajiban untuk membahas tema diskusi, sehingga beberapa jamaah sedikit melebar dalam berbagi pemikiran. Pemandangan yang cukup indah dalam sebuah forum diskusi ilmu, bukan tentang siapa yang benar melainkan tentang apa yang benar.

Sementara itu, pembahasan berdasarkan tema diskusi menghasilkan beberapa poin penting. Antara lain cinta dunia, kedaulatan diri, dan kisah Haman, Qorun, beserta Fir’aun yang terekam dalam Al-Qur’an. Dari kisah-kisah masa lalu tersebut, banyak pembelajaran yang dapat kita hikmahi. Bahwa, penguasaan atau pengelolaan atas dunia itu menjadi penting ketika dijadikan sebagai pondasi, pijakan, atau modal untuk berbuat kemaslahatan. Prinsip ini sesuai dengan slogan yang senantiasa tercantum dalam banner Telulikuran “wala tansa nashibaka minad-dunya”. Artinya, jangan melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dunia memang diperuntukkan bagi seluruh semesta, tak terkecuali kepada manusia. Sebagai manusia, kita harus berjuang untuk mengelola karunia tersebut dengan sungguh-sungguh. Namun harus kita catat dan ingat bersama bahwa dunia bukanlah tujuan utama, melainkan sekadar jalan untuk mencapai tujuan sejati, yakni Allah SWT. Jadi, kita tidak boleh mengusai dan mencintai dunia secara berlebihan.

Cak Syueb Mengulas Tema Majlis Telulikuran Secara Mendalam

 Malam semakin larut, tetapi kehangatan diskusi masih berlanjut. Kali ini, Cak Syueb menyampaikan terima kasih kepada shohibul bait yang telah menyediakan tempat dan mengucapkan syukur karena Gusti Allah berkenan memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga dulur-dulur Damar Kedhaton bisa bertemu kembali dalam forum yang penuh barokah ini.

 “Jangan berhenti untuk terus berjuang. Suatu saat kita akan menemukan nilai dari perjuangan, sepanjang kita berupaya untuk konsisten,” pesan Cak Syueb. “Mari kita bersilaturahim kepada apa pun, siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.”

 Di tengah keasyikan diskusi dan pengembaraan pikiran, wirid tetes kelembutan dilantunkan. Dipandu oleh Cak Fauzi, jamaah larut dan tenggelam dalam penghayatan. Lantunan wirid meresap dalam dada dan mengendapkan isi kepala.

Rindu serindu-rindunya menjadi atmosfer yang menyelimuti pada malam hari itu. Tabungan rindu yang sudah membuncah benar-benar pecah seketika. Puisi berjudul “KPK (Kerinduan, Penantian, dan Kemesraan)” dipersembahkan oleh Cak Kisworo seolah mewakili ungkapan kerinduan sinau bareng yang lama tersimpan dalam hati jamaah. Karya tersebut ia buat spontan pada sore harinya, sebelum Telulikuran dilaksanakan.

Suasana gayeng nan cair, begini : khas atmosfer maiyahan

 Turut mewarnai suasana Telulikuran, dua bocah kecil kira-kira usia sekolah dasar tanpa canggung berbaur dengan jamaah dewasa. Dua Maiyah Cilik–demikian “jamaah kecil” seperti mereka sering disebut– tampak asyik bermain sendiri dan sama sekali tak terganggu maupun mengganggu jalannya diskusi. Atmosfer yang sedang berlangsung semoga bisa terserap ke dalam jiwa mereka.

Lantunan alfu salam menutup perjumpaan para JMDK

Sebelum diskusi ditutup, Sholawat Alfu Salam dilantunkan. Cak Kaji Fian memandu dengan khusyuk dan khidmat. Jamaah terbawa situasi, mengendapkan diri, dan juga tampak begitu meresapi. Selanjutnya, Cak Syueb meninggalkan pesan penutup tentang tiga hal yang jangan sampai terlepas: tidak berhenti berjuang hingga akhir hayat nanti, memperbanyak silaturahim (kepada apa pun, siapa pun, kapan pun, dan di mana pun), serta mengistiqomahi “roso” dalam hati. Akhirnya, doa yang dibaca Cak Syueb memungkasi rutinan kali ini.

 

Febrian Kisworo Aji

JM Damar Kedhaton, tinggal di Cerme, Gresik