Situasi di Kota Makkah sedang genting. Para tokoh kafir Quraisy makin gusar mendapati Nabi Muhammad telah berhasil mendapatkan tambahan kekuatan pasca peristiwa Bai’at Aqabah. Maka di hari yang masih pagi ini, para pembesar kafir Quraisy menggelar rapat di Darun Nadwah demi menyusun strategi untuk menumpas Muhammad. Mereka pun bersepakat, pilih pemuda-pemuda terhebat dari tiap kabilah, beri pedang paling tajam, nanti malam mereka bersama-sama ditugasi menghabisi Muhammad.
Lewat Jibril, Allah memberitahu Nabi ihwal rencana jahat hasil forum Darun Nadwah, berikut perintah bahwa waktunya telah tiba untuk berangkat hijrah. Segera beliau mengabarkan pada Abu Bakar, agar mempersiapkan segala sesuatunya. Ali ditugasi tetap stand by di Makkah dan diberi amanat untuk mengembalikan barang-barang yang dititipkan masyarakat Quraisy kepada Nabi. Ali juga diberi tugas menyamar sebagai Nabi ; ia tidur menggunakan selimut hadrami hijau dan berbaring di tempat tidur Nabi, mengecoh para pemuda kafir Quraisy.
Surat Yasin ayat 9 dibaca Nabi, pasir ditaburkan, seketika para pemuda itu tak sadar ketika Nabi menyelinap pergi meninggalkan rumah. Beliau pun berangkat bersama Abu Bakar menuju Gua Tsur. Bersembunyi di dalamnya selama tiga malam. Selama masa persembunyian itu, Asma’ binti Abu Bakar yang bertugas menyuplai makanan dan minuman. Abdullah bin Abu Bakar menjalankan tugas spionase ; siang hari ia bergaul dengan penduduk Makkah untuk mengumpulkan informasi, malamnya ia laporan ke Gua Tsur. Agar meminimalkan risiko terlacak, maka ditugasilah Amir bin Fuhayrah untuk menggembalakan domba sembari menghapus jejak kaki Asma’ dan Abdullah dari dan ke Gua Tsur. Setelah tiga hari bermalam, Nabi dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan menuju Yastrib dengan Abdullah bin Uraiqith sebagai penunjuk jalan. Sang guide yang non muslim itu, memilih rute yang tak biasa ; dari Makkah ke selatan arah Yaman, lalu ke timur menyusuri tepi Laut Merah menuju utara ke Yastrib, rute yang jarang dilewati orang.
Demikianlah secuil kisah di seputar peristiwa hijrah Kanjeng Nabi dari Makkah ke Madinah, yang tak berselang lama lagi, momentumnya kita peringati sebagai penanda permulaan penanggalan kalender hijriyah.
Hijrah, yang secara generik menyiratkan arti perpindahan, perubahan dan transformasi, belakangan kian kerap muncul dan dipakai oleh sebagian kalangan untuk mengidentifikasi kelompok mereka atau setidaknya gerakan yang sedang mereka perjuangkan. Sebagian kelompok yang lain menengarai fenomena gerakan hijrah ini dengan kacamata yang agak kritis, untuk tidak mengatakan sinis. Para pegiat gerakan hijrah, atau setidaknya sebagian oknumnya,dinilai menjadikan idiom hijrah sebagai alat untuk menjustifikasi diri sembari mendiskualifikasi keagamaan atas kelompok lain. Istilah hijrah pun dipandang semakin menjadi komoditas.
Dulur, tanpa perlu katut terburu-buru pada arus penghakiman, mari memperdalam pembacaan, men-jangkep-kan sudut pandang, seraya dan terutama membaca ulang penuh penghayatan rangkaian peristiwa yang mengitari kisah hijrah Kanjeng Nabi, sebab bukankah sejatinya kita terus ber- Hijrah Sepanjang Waktu?!
Mari kita gelar pendalaman, penghayatan, pengayaan dan perluasan sembari melingkar pada Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton edisi ke-66, pada :
Jumat, 22 Juli 2022
Pukul 20.23 WIB
Ds. Kembangan, Kec. Kebomas, Gresik