Bagaimana kabar mudik lebaranmu kemarin, Dulur? Masihkah kau dapati atmosfer kompetisi prestasi di tengah reuni meskipun gelagatnya agak sembunyi-sembunyi? Masihkah kau rasakan cuaca perlombaan pencapaian di ajang kumpul keluarga dan para handai taulan? Atau jangan-jangan kau, demikian juga aku, ya, kita, pun juga hanyut larut dan turut serta dalam gelombang serupa?
Tepat. Sebagaimana telah pernah fenomena ini dulu kita baca. Sebagai buah dari peradaban materialisme, pemaknaan atas momentum idul fitri pun disesaki oleh beragam ekspresi yang wadag belaka. Aneka forum perjumpaan pada event pulang kampung menjadi medan peneguhan identitas dan strata sosial semata.
Tapi tunggu dulu. Ini sebentuk pembacaan kritis atas fenomena sosial yang sedang kita gelisahkan, ataukah sebatas luapan kejengkelan karena kita merasa dikalahkan?
Ada baiknya memang kita menarik kembali garis yang mengantarkan kita pada titik berangkat yang seharusnya. Kerap kali kita menerima pesan dari para khotib tentang arti “Idul Fitri”. Secara etimologis ia diartikan hari raya makan-makan, sebagai penanda dan pembeda dari masa sebulan sebelumnya ; berpuasa. Secara konseptual, idul fitri acap dimaknai sebagai kondisi kembali ke fitrah, kembali suci. Hal ini merujuk pada konsep ampunan full yang dijanjikan Tuhan bagi para pelaku puasa.
Selain bab idiom idul fitri, rasanya telinga kita pun cukup akrab dengan anjuran para pengkhotbah agar pada momen bulan syawwal ini kita isi dengan upaya peningkatan. Tentu pesan ini berangkat dari arti dan makna dari kata “Syawwal” itu sendiri, yang secara etimologis berasal dari kata “syala” yang berarti “irtafaa’”, meningkatkan.
Sebetulnya mudah dan sederhana saja formulanya. Ketika kita benar dalam menjalankan laku puasa di kawah candradimuka ramadhan, konsekuensi logisnya ya diampuni segala dosanya. So, kita kembali ke suci. Maka, dibanding dengan level sebelumnya, tentu kualitas kita meningkat. Benarkah sesederhana itu, Dulur?
Kita – dengan sadar diri dan tahu diri – yang senantiasa mengayun-ayunkan sayap khauf dan sayap raja’ secara bergantian ataupun sekaligus, dikepung rasa harap-harap cemas ketika sendiri terpekur di hadapan-Nya. Maka posisi untuk bersimpuh memohon agar di-syawwal-kan, tampaknya adalah pilihan yang lebih masuk akal.
Dulur, masih senafas dengan ikhtiar munajat penghaturan doa untuk kesempurnaan pemulihan kesehatan Mbah Nun, dan positioning nyuwun paring-paring, mari melingkar kembali untuk mengarungi telaga ilmu berpayung tema “Di-Syawwal-kan”, di Majelis Ilmu Telulikuran Edisi ke-88 pada :
Rabu, 01 Mei 2024
Pukul 19.23 WIB
Di Rumah Cak Dul (Carik)
Ds. Racikulon, Kec. Sidayu, Kab. Gresik