Mbah Nun adalah orang yang disiplin, punya agenda yang dikerjakan dengan jelas, dan satu hal beliau sangat tidak suka dengan kemalasan. Demikian salah satu perasan nilai yang dibagikan Mas Helmi (redaktur caknun.com). Ringkasan dari rangkaian kesaksian salah seorang alumni “Universitas” Patangpuluhan. Ihwal kemalasan ini, Mbah Nun di berbagai kesempatan sinau bareng juga kerap menyelipkan pesan, “bagiku, males iku dusa, Rek!”
Abah Hamim, seorang pedagang di Panceng Gresik, yang dulu pernah membersamai Mbah Nun ketika berkelana di Berlin hingga era Patangpuluhan, menuturkan bahwa Mbah Nun sangat terlatih untuk menggunakan daya fokusnya dengan baik. Tak jarang Abah Hamim menyaksikan Mbah Nun menyelesaikan tulisan serius sambil mengobrol atau menonton siaran sepakbola di TV.
Suatu ketika di Patangpuluhan, datang utusan dari media tertentu meminta Mbah Nun menulis kolom. Karena waktu mendesak, dan ada agenda berikutnya di tempat lain, sementara Mbah Nun juga tak ingin mengecewakan, maka tulisan langsung dikerjakan tuntas di hadapan si utusan. Selagi sempat, beliau tak terbiasa menunda-nunda.
Demikian secuil kesan dari “salah dua” orang dekat Mbah Nun kala muda. Tentu tak sulit bagi kita untuk menambah deretan testimoni sejenis.
Bila kita lacak pada fase agak lebih mundur, kita lekas mendapati bahwa Mbah Nun tumbuh di keluarga yang atmosfer kesehariannya kental dengan pengasuhan dan pelayanan pada sesama. Sang Ibunda acap mengajaknya mengunjungi rumah tetangga yang papa, sekedar memastikan asap dapurnya tetap menyala. Ayahnya adalah sosok ulama desa, yang konsisten menjaga denyut peradaban masyarakat terus berjalan. Dari sisi pendidikan, penguatan ekonomi, hingga olahraga. Keragaman corak ideologi khas era orde lama yang sengit dan tajam, diramu oleh sang ayah dalam kewajaran bebrayan warga desa.
“Gen” kepengasuhan ini pun kelak mengejawantah pada sekian lintasan peristiwa di mana Mbah Nun turun tangan. Sebut saja ketika beliau diminta mensilaturahmikan masyarakat Dayak dengan masyarakat Madura di lapangan Sanggau, yang tengah dilanda konflik. Atau, tatkala beliau mem-pawang-i dinamika sosial pasca tenggelamnya belasan ribu rumah akibat luapan lumpur Sidoarjo.
Cak Amin (JMDK tinggal di Pelemwatu, Menganti) menuturkan, “awale mengenali Mbah Nun ya dari ceramah-ceramahnya sing nyeleneh, gaya ngomonge gak atik ita itu, nggawe bahasa sehari-hari, dadi gampang dipahami.”
Pak Ghozali (JMDK tinggal di Sumurber, Panceng) menyatakan, “melalui berbagai forum maiyah, Mbah Nun mengajari saya menemukan cara khusus untuk mengenali dan menampilkan islam sebagai agama yang mengutamakan keselamatan. Hadirin diberi kesempatan bertanya dan menjawab sebisanya yang tidak diakhiri dengan kesimpulan sehingga terhindar dari ketersinggungan dan hujatan. Pulang membawa peluang untuk mencari kebenaran yang berpotensi menyelamatkan diri dan orang lain”
Cak Khusnul (JMDK tinggal di Kesambenwetan, Driyorejo) menjadi saksi sekaligus pelaku atas perubahan drastis atas mentalitas dan perilaku komunitas pemuda yang ia sebut “Texas” di kampung halamannya di Jombang. Ia ceritakan bahwa sejak berinteraksi dengan berbagai majelis yang diasuh Mbah Nun, “Korak-korak yang berserakan di jalanan ini berubah 180°. Mereka menghidupkan mushola mengumpulkan kami yang terombang-ambing dalam pencarian jati diri.”
Dulur, kita lanjutkan saja ikhtiar membaca ulang jejak seraya menggali spirit yang telah ditebar Mbah Nun ini di perjumpaan darat. Masing-masing dari kita dapat saling urun cuplikan cerita dan kesan mendalam yang otentik. Dengan itu, kita dapat saling memperkaya hikmah, betapa produktif dan konsistennya jejak perjuangan yang telah beliau teladankan. Tentu saja kita sama-sama telah terlatih untuk tidak terjebak pada pengkultusan individu. Bukankah itu pula yang selalu beliau tegaskan di setiap kali maiyahan?! Ini adalah sebentuk ikhtiar tahadduts bin ni’mah , sepaket dengan luapan betapa rindunya kita akan kehadiran beliau, sekaligus ungkapan syukur di momentum milad beliau.
Mari melingkar demi mencecap-rawat “Spirit 71th” pada Majelis Ilmu Telulikuran Edisi ke-89 pada :
Kamis, 30 Mei 2024
Pukul 19.23 WIB
Di Halaman Masjid Jami’ Nurul Jannah
Ds. Slempit, Kec. Kedamean, Kab. Gresik